Sabtu, 20 Juni 2009

RAHASIA KECERDASAN DAN KESUKSESAN YAHUDI



Oleh Abdul Zen bin Ngatiman bin Kartomin bin Sanu'min


PENDAHULUAN

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kaum Yahudi kini telah menguasai berbagai lini dalam segala sektor terpenting di dunia. Apalagi kebijakan-kebijakan strategis negara adikuasa (AS) tidak lepas dari lobi-lobi Yahudi. Serasa sebuah kelompok yang amat kecil ini telah berhasil dalam menguasai dunia. Tidaklah berlebihan kemudian ketika ada ungkapan bahwa Yahudi saat ini telah memiliki negara baru yakni “negara dunia”.
Padahal di seluruh dunia jumlah Yahudi tidak lebih dari 15 juta-an orang saja. Tersebar sekitar 7 juta-an di Amerika, 5 juta di Asia, 2 juta di Eropa dan 100.000 di Afrika. Namun dalam prestasi dunia semisal hadiah nobel dalam bidang fisika, kimia dan kedokteran saja tercatat 12 persen jatuh ke tangan Yahudi. Tidak sekedar itu saja, konsep bank sentral, uang kertas, kapitalisme, komunisme dan memperdangangkan kembali barang-barang bekas adalah ide Yahudi untuk menciptakan kekuatan ekonomi yang menggurita.
Jika melihat asal-usul Yahudi maka tidak terlepaskan dari seorang yang bernama Ibrahim. Sosok yang dipandang sebagai nenek moyang tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Nabi yang tampil dalam pertas sejarah sekitar 3.700 tahun yang lalu. Konon, Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan. Bangsa yang –mereka anggap– tidak lagi terikat oleh undang-undang bangsa lain. Dengan kecenderungan mengambil ayat-ayat kitab suci yang agresif, bangsa Yahudi membenarkan tindakannya untuk memusnahkan bangsa lain di dunia ini.
Kemudian muncullah apa yang disebut sebagai fenomena “ras super” dalam sejarah umat manusia. Salah satunya ialah ras kaum Yahudi. Alkitab juga menyebutkan bahwa bangsa Israel dalam sejarahnya merasa menjadi ras pilihan tuhan. Hal ini sebenarnya adalah wujud rendah diri mereka karena pernah menjadi budak bangsa Mesir selama bertahun-tahun. Sebagai wujud kompensasinya, nabi Musa mengangkat harga diri bangsa Israel dengan mengatakan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan.
Sepanjang sejarahnya, Yahudi adalah kaum yang memang lekat dengan berbagai sifat buruk kemanusiaannya. Mereka tamak, sombong, dengki, dendam, pengecut, bengis dan licik. Dalam setiap zama mereka selalu menjadi benalu dalam peradaban karena sikap licik ketika lemah dan kejam saat berkuasa. Mereka selalu bermimpi untuk menjadi pengendali tunggul peradaban dan berbagai kepentingan duniawi. Hanya boleh ada satu dominasi yakni kepentingan Yahudi (E Pluralis Unum).
Yahudi selalu menindas yang lemah dan memperalat yang kuat. Sebelum AS berjaya, Yahudi terlebih dahulu telah berhasil memanfaatkan Inggris dan Prancis demi meraih cita-citanya. Meski untuk itu Yahudi mengawali dengan rencana yang tak murah dan pasti selalu menuntut tumbang ribuan atau bahkan jutaan nyawa, menyeret Inggris dalam perang saudara, serta memicu meletusnya Revolusi Prancis.
Hal yang perlu di teliti adalah sisi dimana bangsa Yahudi telah menjadi penguasa raksasa di dunia. Terlepas mereka meraihnya dengan licik, picik atau apapun alasannya yang jelas seluruh penduduk di muka bumi yang berjumlah sekitar tujuh milyar berlekuk lutut di kaki kaum Yahudi yang jumlahnya amat kecil. Oleh karena itu, maka penyusun tertarik untuk membuat makalah berjudul Rahasia Sukses Orang Yahudi. Semoga bermanfaat. Selamat membaca.





RAHASIA KUNCI
KESUKSESAN AGAMA YAHUDI


A. Asal-usul Agama Yahudi
Jika ditinjau dari segi asalnya, maka semua agama di Bumi ini di bagi 2, yaitu:
1. Agama Samawi (Tauhid)
Yaitu agama yang turun dari Hadirat Yang Maha Tinggi, yaitu agama yang berasal dari wahyu Allah SWT yang menjadikan alam semesta dan diwahyukan kepada Rasul-Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Agama samawi adalah Agama Yahudi yang dibawa oleh Nabi Musa, Agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa AS, dan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Agama Thabi’y (A’rdhi)
Yaitu agama yang timbul dari angan-angan khayal manusia belaka, bukan berasal dari wahyu Ilahi. Agama A’rdhi adalah Agama Majusi, agama shabiah.
Asal Usul Agama Yahudi
a. Ibrani
Dalam bangsa Ibrani, Allah mengutus seorang Rasul yaitu IBRAHIM untuk menuntun mereka kembali kepada Allah. Setelah mengangkat nabi Ibrahim, putera Beliau Ishak melanjutkan tugas memimpin kaumnya. Dan setelah Ishak wafat, Ya’kub putra ishak meneruskan tugas memimpin bangsa Ibrani.
b. Bani Israil
Nabi Ya’kub mula-mula menetap di negeri Kan’an (Palestina). Beliau mempunyai nama kehormatan dengan sebutan Bani Israil yang artinya “Hamba Allah yang Amat Taat”. Beliau mempunyai 12 orang putera, diantaranya : Rubin, simeon, Lewi, Yahuda, Zebulon, Isakhar, Dan, Gad, Asyer, Naftali, Yusuf, dan benyamin. Anak cucu Ya’kub itulah kemudian dikenal dengan Bani Israil.
c. Yahudi
Diantara putra Ya’kub, yang paling banyak keturunannya adalah Yahuda. Selain banyak keturunan, Yahuda juga terkemuka dalam berbagai hal. Karena banyaknya keturunan dan besar golongannya, maka mereka membentuk bangsa lain dalam bangsa Israil, yang disebut dengan “Bangsa Yahudi”.

B. Landasan Kesuksesan Kekayaan Agama Yahudi
Menurut Perjanjian Baru, Kristen memiliki dunia, di terbaik, sebuah sikap ambivalen terhadap uang dan kekayaan: "Mudah untuk unta untuk melewati mata dari jarum daripada untuk seseorang yang kaya untuk memasuki Kerajaan Allah." (Matius 19:24, Lukas 18:25, Markus 10:25) "Anda tidak dapat melayani Tuhan dan kekayaan." (Lukas 16:13) "Jika kita mempunyai makanan dan pakaian, kami akan dengan konten ini. Tetapi mereka yang ingin kaya jatuh ke dalam pencobaan dan terperangkap oleh banyak pingsan dan merusak keinginan orang-orang yang menceburkan diri ke dalam kehancuran dan kebinasaan." (Timotius 6:8-9) "Karena kasih uang adalah akar segala kejahatan." (Timotius 6:10) .
Untuk Yahudi, di sisi lain, kekayaan adalah hal yang bagus, yang layak dan terhormat untuk berusaha menuju tujuan. Apa lagi, setelah anda peroleh, adalah kehilangan yang tragis. Yudaisme tidak pernah dianggap sebagai sebuah kebaikan kemiskinan. Yang pertama adalah orang-orang Yahudi tidak miskin, dan yang baik. Yahudi yang didirikan ayah, Ibrahim, Ishak dan Yakub, telah diberkati dengan ternak dan tanah di kelimpahan. Asceticism diri dan tidak cita-cita Yahudi. Dengan keuangan dalam rangka rumah, lebih mudah untuk mencapai kehidupan rohani Anda: "Di mana tidak ada tepung, tidak ada Alkitab." The Mishna (koleksi buku yang memberikan rincian hukum Yahudi untuk hidup sehari-hari) "Kemiskinan menyebabkan dosa." (Hasidic kaum berkata) "Kemiskinan di rumah seorang lelaki yang lebih buruk daripada lima puluh plagues."
Ini adalah Keyword kesuksesan orang Yahudi, dimana orang Yahudi mengangap Kekayaan adalah bagus sehingga mereka berusaha dengan kuat untuk mendapatkannya. Selain itu, dengan diwarisi darah keturunan Ibrahim yang cerdas maka mereka menggunakan kecerdasarnnya untuk meraih kekayaan.
Orang-orang Yahudi banyak yang menjadi pengusaha dan pebisnis besar karena antara lain menguasai sektor keuangan dan perbankan. Mereka sejak dulu menjalankan sistem-sistem perekonomian berbasis bunga(riba).
Riba merupakan inovasi terbesar yang pernah diciptakan oleh Yahudi. DI lain pihak, penerapan riba juga merupakan cikal bakal malapetaka umat manusia hingga sekarang, namun sangat menguntungkan segelintir manusia serakah. Uang telah disalahtafsirkan menjadi sekesar lembaran kertas yang tak bernilai.
Dalam perpektif budaya, berbeda dengan kultur Helenisme(Yunani) yang didasarkan atas sendi-sendi pemikiran dan penalaran rasional, Hebraisme (Yahudi) didasarkan pada sesuatu yang irasional yaitu bentuk-bentuk keimanan tertentu yang telah diwujudkan selama berabad-abad dalam kehidupan praktis mereka. Jika kebudayaan Yunani mengajarkan penghargaan yang tinggi terhadap intelejensia dan etika, maka kebudayaan Ibrani menekankan kegairahan bekerja sehingga mencapai hasil maksimal walaupun harus mengabaikan norma-norma moral dan etika.
Tentu Saja tidak smeua orang Yahudi melakukan praktik buruk seperti itu, Tetapi pemungutan bunga tinggi atau riba dalam sistem simpan pinjam uang yang dijalankan oleh para pedagang Yahudi kemudian ditranformasikan de dalam sistem perbankan modern. Di tingkat ini pula keapitalisme mendapat pijakannya yang kuat. Apalagi sistem kapitalisme itu digerakkan oleh kekuatan irasional sehingga lahirlah ketamakan.

C. Rahasia Orang Yahudi Sukses
No doubt about it, statistik terutama diberikan keberhasilan Yahudi yang relatif kecil penduduk Yahudi yang luar biasa. Tentu saja, selalu ada pengecualian untuk setiap aturan umum, hanya sebagai individu akan berbeda di setiap kelompok. Namun, apabila kita melihat gambar yang lengkap, kami melihat perbedaan besar Yahudi, dan harus ada beberapa alasan untuk itu. Itulah apa yang Yahudi adalah fenomena semuanya. Apa rahasia keberhasilan ada orang-orang Yahudi belajar yang dapat diterapkan pada setiap kehidupan, setiap keluarga dan masyarakat?
Penelitian yang diselenggarakan terbaik. J kekayaan sastra dan data yang kronik kehidupan orang Yahudi di seluruh umur menyediakan clues.
Terhingga individu Yahudi kisah sukses [anecdotes] dipimpin saya ke penemuan tujuh nilai inti atau kepercayaan yang meletakkan di jantung kota Yahudi prestasi. Dalam berbagai kombinasi, rahasia ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan ekonomi orang Yahudi.
THE SEVEN kunci untuk Yahudi SUCCESS :
1. Memahami bahwa sebenarnya kekayaan yang portabel; dari pengetahuan
2. Mengurus sendiri dan mereka akan menangani masalah Anda
3. Berhasil orang yang profesional dan pengusaha
4. Mengembangkan keyakinan lisan
5. Akan tetapi selektif boros dengan bijaksana ugahari
6. Terpuaskan individualitas: mendorong kreativitas
7. Psikologis akan didorong untuk membuktikan sesuatu APPRECIATING tombol
Daftar mereka tidak cukup. Masing-masing memiliki akar dalam sejarah orang Yahudi. Tidak ada rahasia adalah independen dari yang lain. Mereka bekerja bersama-sama. Tentu saja, pendidikan ii sangat penting, tetapi pendidikan yang baik saja tidak sepenuhnya menjelaskan seperti keberhasilan. Seperti Dr Sowell ditemukan, "Bahkan ketika tidak maupun pendidikan adalah faktor usia, orang-orang Yahudi yang lebih banyak." Di antara keluarga dipimpin oleh laki-laki dengan empat tahun atau lebih dari perguruan tinggi dan berusia 35-45, orang-orang Yahudi yang masih 75 persen lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata nasional yang sama dengan demografis. Lainnya kualitatif perbedaan budaya dan tidak diambil dalam statistik kontribusi mereka sukses. Jika itu yang sederhana seperti hanya memperoleh pendidikan atau mengembangkan keyakinan lisan, hanya dua tombol, Yahudi telah sukses akan emulated tahun lalu.
Tetapi tidak ada yang mencegah non-Yahudi dari belajar tentang semua tujuh prinsip-prinsip dan integrasi mereka ke dalam kehidupan mereka sendiri, sama seperti mereka telah menikmati 75 persen dari $ 50 miliar nilai halal makanan yang dijual di Amerika Serikat setiap tahunnya. Yahudi juga dapat mengambil melihat lebih dekat dan lebih memahami tentang diri. American masyarakat cepat assimilating nya orang Yahudi, dan pengatur ujian dapat produktif. Assimilation kali ini adalah bukan soal terpaksa konversi, seperti yang telah terjadi di Spanyol Inkuisisi; ini merupakan produk keterbukaan dari masyarakat Amerika.
Yahudi adalah fenomena yang tidak kering akademik petualangan. Berada di muka politik benar, akan ada joke baik Yahudi di mana perlu untuk dapat memberikan informasi kepada cara berpikir Yahudi. Saya setuju dengan Rabbi Yusuf Telushk dalam "Orang-orang yang menentang telling jokes etnik akan kami percaya bahwa seluruh gaya yang nonsense, yang alcoholics, neurotics, oversensitive orang teduh dan karakter merata di antara semua kelompok. Namun, toleran seperti suara, asumsi ini tidak membuat rasa, karena secara tidak langsung bahwa sejarah dan budaya tidak memiliki dampak pada manusia. Tapi tentu saja, mereka lakukan. Apa yang membuat orang-orang Yahudi Yahudi adalah agama tertentu pengalaman budaya dan sejarah yang telah mereka nilai dan bentuknya sangat dipengaruhi bagaimana mereka melihat dunia. " Yang mana berasal dari tombol. Selain itu, semua orang Yiddish kata-kata yang banyak orang-orang Yahudi dan non-Yahudi dan penyalahgunaan dalam menggunakan mereka sehari-hari slang akan ditetapkan juga.
Orang-orang Yahudi yang tidak berbeda dari orang lain dalam hal intelijen (dan sukuisme diterapkan). Tetapi hanya menyatakan hal ini tidak membuat ia begitu. Setelah The Bell Curve broke kontroversi pada tahun 1994, pada tahun 1995 yang diperbaharui pada intelijen yang diproduksi secara besar-besaran jumlah data baru yang memverifikasi bahwa intelijen adalah warisan 60-80%, dan telah diterima dalam laporan khusus oleh American Psychological Association berjudul "Intelijen : Knowns dan Unknowns. " Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa tidak hanya orang-orang Yahudi Ashkenazi yang sangat cerdas, mereka asymmetrically cerdas. Itulah sebabnya, mereka sangat mengherankan rata-rata memiliki IQ lisan dari 127 tahun 2000 akibat menekankan lisan beasiswa - jenis egenetika 'program. Dan, penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi adalah genetically lebih ethnocentric daripada bangsa lain.
Tetapi sebenarnya pertanyaan tidak jika buku ini berdasarkan premis palsu yang paling pasti adalah. Tetapi mengapa sebagian besar orang Yahudi mematuhi penipuan ini? Sesungguhnya mereka harus tahu, sebagai orang berpendidikan tinggi, yang genetik. Frankly, ini selalu menjadi sebuah teka-teki bagi saya. Beberapa orang yang tidak intelijen merupakan syarat utama untuk sukses dapat menerima budaya determinisme. Tetapi bagaimana sekelompok orang mematuhi dogma ini jadi tenaciously? Saya pikir hanya dua alasan. Pertama, karena mereka eugenic pilihan untuk jenis pikiran yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengambil posisi di sebuah argumen filosofis, keterampilan yang diperlukan untuk naik ke atas berhubung dgn Talmud dalam studi, mereka yang rentan terhadap genetik kecenderungan terhadap diri kecurangan. Diri sendiri adalah komponen penting dari strategi evolusioner. Lebih mudah untuk menipu jika anda dapat membawa anda untuk percaya sendiri deceptions. Itulah sebabnya, seperti politikus, mereka lebih meyakinkan kepada pemilih jika mereka dapat membawa diri untuk percaya bahwa mereka sedang mencari kantor publik untuk publik, bukan sebagai bentuk sosial untuk menampilkan diri promosi.
Kata kunci dari kesuksesan orang Yahudi adalah intelegensi mereka atau kecerdasasan mereka. sebenarnya apakah yang membuat rata-rata orang Yahudi sukses?

D. Kenapa Orang Yahudi Pintar?
Tanpa bermaksud untuk mendramatisasi tentang orang Israel dan atau orang Yahudi, saya ingin berbagi informasi yang saya peroleh sebuah website yang telah membaca terjemahan Maaruf Bin Hj Abdul Kadir (guru besar berkebangsaan Malaysia) dari Univeritas Massachuset USA tentang penelitian yang dilakukan oleh DR. Stephen Carr Leon. Penelitian DR Leon ini adalah tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau orang Yahudi. Mengapa Orang Yahudi rata-rata pintar? Studi yang dilakukan mendapatkan fakta-fakta sebagai berikut:
• Ternyata,bila seorang Yahudi Hamil, maka sang ibu segera saja meningkatkan aktivitasnya membaca, menyanyi dan bermain piano serta mendengarkan musik klasik. Tidak itu saja, mereka juga segera memulai untuk mempelajari matematika lebih intensif dan juga membeli lebih banyak lagi buku tentang matematika mempelajarinya, dan bila ada yang tidak diketahui dengan baik, mereka tidak segan-segan untuk datang ke orang lain yang tahu matematika untuk mempelajarinya. Semua itu dilakukannya untuk anaknya yang masih didalam kandungan.
• Setelah anak lahir, bagi sang ibu yang menyusui bayinya itu, mereka memilih lebih banyak makan kacang, korma dan susu. Siang hari, makan roti dengan ikan yang tanpa kepala serta salad. Daging ikan dianggap bagus untuk otak dan kepala ikan harus dihindari karena mengandung zat kimia yang tidak baik untuk pertumbuhan otak sianak. Disamping itu sang ibu diharuskan banyak makan minyak ikan (cod lever oil).
• Menu diatur sedemikian rupa sehingga didominasi oleh ikan. Bila ada daging, mereka tidak akan makan daging bersama-sama dengan ikan,karena mereka percaya dengan makan ikan dengan daging hasilnya tidak bagus untuk pertumbuhan. Makan ikan seyogyanya hanya makan ikan saja, bila makan daging , hanya makan daging saja, tidak dicampur. Makan pun, mereka mendahulukan makan buah-buahan baru makan roti atau nasi. Makan nasi dulu baru kemudian makan buah, dipercaya akan hanya membuat ngantuk dan malas berkerja.
• Yang istimewa lagi adalah: Di Israel, merokok itu tabu! Mereka memiliki hasil penelitian dari ahli peneliti tentang Genetika dan DNA yang meyakinkan bahwa nikotin akan merusak sel utama yang ada di otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi juga akan mempengaruhi atau keturunannya. Pengaruh yang utama adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi bodoh atau dungu. Walaupun, kalau kita perhatikan , maka penghasil rokok terbesar di dunia ini adalah orang Yahudi! Tetapi yang merokok , bukan orang Yahudi.
• Anak-anak, selalu diprioritaskan untuk makan buah dulu baru makan nasi atau roti dan juga tidak boleh lupa untuk minum pil minyak ikan. Mereka juga harus pandai bahasa , minimum 3 bahasa harus dikuasai nya yaitu Hebrew, Arab dan bahasa Inggris. Anak-anak juga diwajibkan dan dilatih piano dan biola. Dua instrument ini dipercaya dapat sangat efektif meningkatkan IQ mereka. Irama musik terutama musik klasik dapat menstimulasi sel otak. Sebagian besar dari musikus genius dunia adalah orang Yahudi.
• Satu dari 6 anak Yahudi, diajarkan matematik dengan konsep yang berkait langsung dengan bisnis dan perdagangan. Ternyata salah satu syarat untuk lulus dari Perguruan Tinggi bagi yang Majoring nya Bisnis, adalah, dalam tahun terakhir, dalam satu kelompok mahasiswa (terdiri dari 10 orang), harus menjalankan perusahaan. Mereka hanya dapat lulus setelah perusahaannya mendapat untung 1 juta US Dollar. Itulah sebabnya, maka lebih dari 50% perdagangan di dunia dikuasai oleh orang Yahudi. Design terakhir diciptakan oleh satu Universitas di Israel, fakultas bisnis and fashion.
• Olah raga untuk anak-anak, diutamakan adalah menembak, memanah dan Lari. Menembak dan Memanah, akan membentuk otak cemerlang yang mudah untuk dalam berpikir!
• Di New York, ada pusat Yahudi yang mengembangkan berbagai kiat berbisnis kelas dunia. Disini terdapat banyak sekali kegiatan yang mendalami segi-segi bisnis sampai kepada aspek-aspek yang mempengaruhinya. Dalam arti mempelajari aspek bisnis yang berkaitan juga dengan budaya bangsa pangsa pasar mereka. Pendalaman yang bergiat nyaris seperti laboratorium, research and development khusus perdagangan dan bisnis ini dibiayai oleh para konglomerat Yahudi. Tidak mengherankan bila kemudian kita melihat keberhasilan orang Yahudi seperti terlihat pada : Starbuck, Dell Computer, Cocacola, DKNY, Oracle, pusat film Hollywood, Levis dan Dunkin Donat.
Khusus tentang rokok, negara yang mengikuti jejak Israel adalah Singapura. Di Singapura para perokok diberlakukan sebagai warga negara kelas dua. Semua yang berhubungan dengan perokok akan dipersulit oleh pemerintahnya. Harga rokok di Singapura adalah 7 US Dollar, bandingkan dengan di Indonesia yang hanya berharga 0.7 US Dollar. Pemerintah Singapura menganut apa yang telah dilakukan oleh peneliti Israel , bahwa nekotin hanya akan menghasilkan generasai yang bodoh dan Dungu.
Percaya atau tidak, tentunya terserah kita semua. Namun kenyataan yang ada terlihat bahwa memang banyak sekali orang yahudi yang pintar. Tinggal, pertanyaannya adalah, apakah kepintarannya itu banyak manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat manusia secara keseluruhan.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa rahasia kesuksen orang Yahudi adalah karena rata-rata orang Yahudi cerdas. Lalu mereka menggunakan kecerdasan mereka untuk melakuan kecurangan-kecurangan oleh karena itu dalam Al-Qur’an orang Yahudi disebut orang-orang yang Dholim seperti dalam Surat Al-Fatihah ayat 7.
Landasan agama mereka agar menjadi orang kaya yaitu Menurut Perjanjian Baru, Kristen memiliki dunia, di terbaik, sebuah sikap ambivalen terhadap uang dan kekayaan: "Mudah untuk unta untuk melewati mata dari jarum daripada untuk seseorang yang kaya untuk memasuki Kerajaan Allah." (Matius 19:24, Lukas 18:25, Markus 10:25) "Anda tidak dapat melayani Tuhan dan kekayaan." (Lukas 16:13) "
Sedang rahasia Kecerdasaan orang Yahudi adalah karena adanya pendidikan Pra-natal, pemberian gizi yang baik untuk otak bayi, pola makan, culture serta genetic dari ketutunan Ibrahim.


DAFTAR PUSTAKA

Fasial M. Sakri, Rahasia Kekayan Yahudi, Depok: Bale Siasat, 2008.
Fenomena orang-orang Yahudi: Tujuh Tombol untuk bertahan Kekayaan dari Orang oleh Steven Silbiger, 2000 .
Forwarded email dengan judul Mengapa Orang yahudi banyak yang pintar Oleh Chappy Hakim
http://lovewatergirl.wordpress.com/2008/02/13/asal-usul-agama/ oleh Abdullah
The Talmud (koleksi buku rabbi komentarnya tentang Perjanjian Lama)

strategi kemerdekaan indonesia (abdul zen)ski

STRATEGI ISLAM
DALAM MENCAPAI MASA KEJAYAAN





Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Jonkenedi, M.Pd. I.


Disusun Oleh :
Nama : Desi Winanti
NIM : 082311004



DEPARTEMEN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2009

BAB I
PENDAHULUAN

Umat Islam Indonesia yang secara kuantitas memang mayoritas, telah membuktikan bahwa mereka telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menentukan filosofi dasar negara Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari perjuangan-perjuangan mereka baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indoneisia terkait denga filosofi dasar negara tersebut.
Di saat umat Islam, bersama dengan pemeluk Kristiani dan agama-agama lain, berjuang membersihkan muka bumi Indonesia dari penjajahan Jepang. Mereka pun harus memikirkan bagaimana persatuan bangsa Indonesia dapat terjaga. Ini berarti perjuangan mereka harus didasarkan pada cita-cita untuk tidak saja melepaskan diri dari tangan penjajah tapi juga harus dapat mewujudkan satu negara bangsa. Tentu hal ini tidak mudah mereka lakukan karena sentivitas politik. Sosial-budaya dan religius sudah selayaknya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apapun.
Satu hal lagi yang perlu kita ketahui dengan kontribusi wakil-wakil umat Islam terkait dengan pergulatan mereka dalam memperjuangkan filosofi banga negara Indonesia adalah gabungan mereka dengan para pejuang nasional lainnya di dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Perlu diketahui bahwa di dalam wadah ini perjuangan umat Islam terkait dengan filosofi dasar negara Indonesia terutama umat Islam bagitu gigihnya umat Islam juga sangat gigih dalam perjuangan sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sela pertama atau urutan-urutan lainnya.
BAB II
A. PEMBAHASAN
1. Kondisi Bangsa Indonesia
Pada tanggal 1 Maret 1945, pemerintah Jepang meresmikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tugas badan ini ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan segi-segi politik, ekonomi, dan tata pemerintahan, dan lain-lainnya yang membutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.
Namun demikian, kondisi pada saat sebelumnya kemerdekaan, para pejuang nasional menghindari kepentingan-kepentingan sesaat dan bersifat sentralis. Mereka lebih memfokuskan bagaimana Indonesia bagaimana bisa meraih kemerdekaannya secepatnya. Mereka tidak melalui jalur voting melainkan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan-keputusan walaupun tiu harus ditempuh dengan proses memakan waktu sedikit lama yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mereka dapat persatuan dan kesatuan sehingga mereka bisa mengusir penjajah dari muka Indonesia dan mendirikan negara banga Indonesia.


2. Perjuangan Umat Islam terhadap Dasar Negara
Sebelum berbicara tentang perjuangan umat Islam terhadap dasar negara Indonesia, adalah perlu menyinggung agama dan negara. Yang pertama adalah bahwa agama dan negara tidak seharusnya dipisahkan karena Islam sebagai agama yang utuh dan komprehensif mencakup satu kehidupan dunia dengan kehidupan dunia lainnya.
Selanjutnya ada teori kedua yaitu bahwa Agama dan Negara seharusnya dipisahkan, dan agama terbatas se bagai urusan pribadi. Tidak ada interfensi agama dalam urusan negara.
Nampaknya bahwa teori kedua di atas berbeda total dan teori yang pertama yang sangat menegaskan tidak adanya pemisahan. Teori kedua ini mengisyaratkan bahwa agama dan negara harus berjalan sendiri-sendiri tidak perlu saling menyapa. Agama menjadi urusan personal, negara harus memikirkan nasibnya sendiri dan tidak boleh bergantung pada ajaran-ajaran nasibnya sendiri dan tidak boleh bergantung pada agama. Agama tidak punya hak untuk mengatur urusan negara.
Sejarah mencatat bahwa seorang Nasionalis Sekuler. Muhammad Yamin menyampaikan pidatonya di dalam pertemuan pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Di dalam pidatonya, dia menawarkan lima prinsip untuk dasar negara-negara Indonesia yang akan di proklamasikan kemerdekaannya beberapa bulan yang akan datang. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Soepono mencatat bahwa pada tanggal 13 Mei 1945, para wakil umat Islam memulai untuk mendirikan satu negara yang berdasarkan Islam. Sementara itu, para Nasionalis sekuler yang dimotori oleh Muhammad Hatta mengusulkan pendirian negara bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan yang memisahkan negara dari urusan-urusan keagamaan.


BAB III
• Penjajahan Barat Atas Dunia Islam dan Perjuangan Kemerdekaan Negara-negara Islam
Periode ini memang merupakan akan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengtengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulny kesadaran dikalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya seperti. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi.
A. Renaisans di Eropa
Pada awal kebangkitannya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Di hadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan atau perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan Usman yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya sebagai dinding yang membatasi mereka.
Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam. Berusaha menaklukan lautanm, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan.
B. Penjajahan Barat terhadap Dunia Islam di Anak Benua Indonesia di Anak Benua India dan Asia Tenggara
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Asia Tenggara, negeri Islam baru mulai berkembang yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di Negeri ini. Hal itu mungkin karena disbandingkan dengan Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukan.
C. Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan indistri perang membuat kerajaan Usmani menjadi kecil dihadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Islam ini termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun kekalahan besar kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1983 M membuka mata barat bahwa kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak inilah kerajaan Usmani berulang kali mendapatkan serangan besar dari barat.
Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, kerajaan Usmani juga menyadari akan kemundurannya dan kemajuan barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara-negara Eropa, terutama Prancis, untuk mempelajari suasana di sana dari dekat.
D. Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam dan Timbulnya Gerakan Partai yang Memperjuangkan Kemerdekaanya, Negaranya
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka jauh tertinggal dari Eropa yang pertama merasakan hal di antaranya, Turki Usmani, karena kerajaan-kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa.
E. Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam memperjuangkan untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari politik Barat. Dalam kenyataanya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti 1) Gerakan Politik, baik dalam bentuk diploma maupun perjuangan bersenjata dan 2) Pendidikan serta propaganda dan dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.

• Islam di Indonesia; Zaman Modern dan Kontemporer
A. Gerakan Modern Islam: Asal-usul dan perkembangan
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke tujuh belas, telah melahirkan kebankitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran Imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah Gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformasi puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke awal perubahan Islam abad ke-20 yang bersifat Intelektual.



B. Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam
1. Masa Kolonial Belanda
Nasionalisme dalam pengertian politik, baru muncul setelah H. Sumanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI paa bulan Mei 1912 kepada Hos Tjokrominoto yang mengubah nama dan organisasi serta memperluas ruang gerakan.
C. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam dalam Suasana Indonesia Merdeka.
D. Kebangkitan Baru Islam di Masa Orde Baru
Meskipun umat Islam merupakan 87 % penduduk Indonesia. Ide negara Islam secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali diawal pergerakan Nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan. Selalu mengalami kekalahan. Malah dengan pembaharuan politik bangsa serang ini.



PENUTUP

Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab At-hadha Roh al-Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam.
Memang sulit menentukan pembabakan sejarah Islam di Indonesia karena wilayah cukup luas sehingga perkembangan sejarah antara suatu daerah dengan daerah lain berbeda-beda. Jadi bagaimana kita dalam menyingkapi adanya perbedaan-perbedaan itu. Tapi sebenarnya dari semua itu mempunyai tujuan yang sama.









DAFTAR PUSTAKA

Azra Az Yumardi, Nusantara Islam, Bandung; Penerbit Mizan, 2002.
Sodian Ali, Abdurrahman Dudung dkk. Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Penerbit LESFI, 2004.
Yatim Badri, MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.th.

Jumat, 19 Juni 2009

internet di lingkungan pesantren (abdul zen alfonso)

INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN





Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Nur Fuadi, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Dhiyah Rachmatika (072331047)
Dian Puspaningsih (072331048)
Didi Wibiseno (072331049)
Duriyah (072331050)
Dwi Setyowati (072331051)
Diyah Nurmanita S (072331052) Ekawati (072331053)
Endah Iriany (072331054)
Endro Suharyono (072331055)
Era Wahyu Esti F (072331056)
Esti Fitria (072331057)
Smt/Prodi :4/PAI-2
Jurusan : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2009
BAB I
PENDAHULUAN

Puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Kepada keluarganya, para sahabatnya, tabiin, sampai kita sebagai umatnya. Aamiin…
Pesantren menduduki peran yang sangat signifikan, dimana kiprah para ulama dalam hal ini menjadi tak terelakkan dalam sejarah pendidikan Islam di tanah air. Hal tersebut seiring dengan nilai perjuangan yang terus didengungkan para pounding father bangsa Indonesia.
Sebagai sebuah refleksi, pembicaraan tentang pesantren ini menjadi keniscayaan bagi setiap kita yang berkiprah di dalamnya, setidaknya dapat menjadi tambahan khazanah intelektual dari bangsa ini dan generasi penerus.
informasi terjadi globalisasi pada perkembangan mutakhir teknologi
internet di dalamnya telah secara revolusioner pada tatanan sosial
dan budaya dalam skala dunia. Pemahaman konvensional
tentang 'masyarakat', 'komunitas', 'interaksi sosial',
serta 'budaya' mendapatkan satu tantangan besar dengan telah
memasyarakatnya teknologi informasi tersebut.
Realitas-realitas sosial-budaya yang ada mendapatkan tandingan-
tandingan, yang pada akhirnya mengaburkan batas di antara
keduanya. 'Internet' sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan
informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk 'komunitas'
sendiri (virtual community), bentuk 'realitas'-nya sendiri (virtual
reality) dan bentuk 'ruang'-nya sendiri (cyberspace).
Disisi lain ada sebuah komunitas yang belum mampu untuk berubah yaitu
pesantren. Komunitas pesantren kenapa sangat sulit untuk menerima
perkembangan tehnologi informasi, alasan yang utama adalah para kyai
atau ulama yang takut kehilangan otoritasnya. sehingga penolakkan itu
menjadi sebuah penolakkan teologis. Dari sini pertanyaan besar
kemudian muncul sampai kapan komunitas ini akan terus bertahan
seperti itu ditengah globalisasi yang sedang mengelilingi kita?? Dan
bagaimana strategi yang tepat untuk menggapai kemajuan umat Islam
dimasa depan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi??
Dari sini menarik sekali kiranya membahas masalah tentang internet di lingkungan pesantren. Bagaimanakah internet bisa masuk kedalah pesantren? ditolak mentah-mentahkah ataukah diterima dengan lapang dada?
Penulis ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa yang memberikan masukkan saat perkuliahan bagi sempurnanya tulisan ini. Tak lupa terima kasih pula kepada anda sidang pembaca yang sudi membaca karya sederhana ini ini.











BAB II
INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN

1. Pengertian dan Eksistensi Pondok Pesantren dalam Rekaman Sejarah
Pondok Pesantren merupakan lembaga studi Islam yang punya andil historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Maka wajarlah apabila banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal; dan meskipun ada hanya dapat diikuti oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena adanya tuntutan dari umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Menurut data Departemen Agama, pada tahun 1948-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Namun keterangan ini kurang meyakinkan, karena apabila ada pesantren Jan Tampes II maka ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Ada pula yang mencatat bahwa pondok pesantren muncul sejak munculnya masyaraka Islam di Nusantara pada abad XIII.
Seiring dengan perjalanan waktu, pendidikan pondok pesantren mengalami perkembangan. Lembaga ini semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "Politik Etis" pemerintah kolonial Belanda pada akahir abad XIX. Sikap non-koperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda inilah pondok pesantren mendapat tekanan yang cukup berat.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam, khusunya pesantren, karena berarti tidak ada lagi tekanan dari penjajah asing untuk menjalankan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Pada masa ini pesantren mulai menata diri dan memapankan posisinya sebagai lembaga pendidikan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid sebenarnya sejak tahun 1920-an Pondok Pesantren telah mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan pesantren sendiri. Kemudian pada tahun 1930-an, pondok pesantren sudah memperlihatkan kurikulum. Puncaknya kemapanan sekolah agama negeri di lingkungan pondok pesantren terjadi sekitar 1960-an meski saat itu juga terjadi percobaan isolasi di berbagai pondok pesantren, terutama menjelang G 30 S/PKI.
Memasuki era 1970-an pondok pesantren mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan dan perkembangan ini bisi dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan bahwa pada tahun 1977 jumlah pondok pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Kemudian pada tahun 1985 jumlah ini meningkat cukup drastis di mana jumlah pondok pesantren mencapai 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai 1.084.801 orang. Pada tahun 1997, jumlah ini melonjak menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.770.768 orang. Pada tahun 2001 jumlah pondok pesantren terus meningkat mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri 2.737.805 orang.
Perkembangan kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: pertama, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat, pondok pesantren yang hanya menjadi tempat melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, jelas bahwa pondok pesantren tidak hanya bisa bertahan, akan tetapi juga berkembang dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Dalam mengembangkan pola pendidikan dan mentransformasikan diri menjadi lembaga pendidikan modern, tampaknya pondok pesantren tidak tergesa-gesa dan cukup berhati-hati. Hal ini terlihat dari penerimaan dan penyesuaian pola pendidikan yang hanya dalam skala yang sangat terbatas pada hal-hal yang mendukung komunitas pesantren itu sendiri. Azyumardi Azra berpendapat bahwa pesantren pada mulanya hanya rural-based institution yang kemudian menjadi lembaga pendidikan urban, yaitu munculnya sejumlah pondok pesantren di kota-kota.
Ketika gerbang reformasi dibuka, peran dan kiprah pesantren semakin diperhitungkan dalam berbagai bidang. Dari bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga sosial. Dalam bidang politik misalnya, pesantren dilirik oleh kalangan elit politik sebagai aset yang dapat menjadi penunjang tujuan politik. Sentralitas kepemimpinan Kiai dan banyaknya massa sang Kiai membuat pondok pesantren sering didekati dan dimanfaatkan oleh kalangan elit politik.

2. Positif dan Negatif Internet
Internet ibaratnya suatu gajah yang ingin coba dikenali karena kabar manfaat dan kemasyalatannya. Sebut saja, yang populer dewasa di masyarakat adalah pandangan bahwa internet bisa diidentikkan dengan pornografi. Mungkin saja set of mind yang terangkat kepermukaan akhir-akhir ini adalah “Kalau mau cari yang porno ada di Internet”. Bahkan yang lebih parah lagi adalah internet=pornografi. Pandangan demikian tentu saja memberikan dampak kepada masyarakat dan menutupi apa yang sebenarnya bisa dilakukan dengan Internet.
Internet, sebagai suatu infrastruktur awalnya adalah infrastruktur telekomunikasi yang dikembangkan oleh para empu teknologi komputer dan telekomunikasi dari ruang dan garasi riset di Amerika Serikat di sekitar akhir dasawarsa 60-an. Kemudian, Dephankam AS melalui program ARPA mendanai pengembangan lebih lanjut riset-riset tersebut sebagai suatu alternatif sistem telekomunikasi untuk mengantisipasi serangan nuklir.
Internet pada akhirnya adalah produk teknologi perang dingin yang kemudian (kembali) dielobrasi lebih jauh untuk kepentingan sipil. Peranannya yang semakin signifikan kemudian tidak menjadikannya sebagai sarana telekomunikasi saja. Namun berkembang lebih jauh memenuhi dan menciptakan berbagai kebutuhan masyarakat modern mulai dari pengiriman surel yang sangat praktis, efisien dan murah, forum diskusi, media online, sarana jual beli dan juga sarana untuk menampilkan semangat spiritualisme.
Sampai sekarang, walaupun Amerika Serikat bisa dianggap sebagai pemrakarsa teknologi Internet, tidak ada satu pun negara atau entitas yang berhak mengakui kepemilikan infrastruktur Internet. Internet pada akhirnya berkembang demikian pesat tanpa pemilikan dan sangat terbuka. Siapapun yang mau memanfaatkan dan berkiprah untuk memanfaatkan Internet tidak ada yang melarang. Namun disinilah kemudian masalahnya muncul. Dengan keterbukaannya ini, Internet berkembang menjadi suatu sarana, suatu media baru dimana \\\"The Good, The Bad & The Ugly\\\" cuma dipisahkan oleh satu klik tetikus (mouse) pemakainya; Dimana mudharat dan manfaat sama-sama tampil sejajar; Dimana pornografi dan sopan santun bisa saling berselisih atau tampil bersamaan. Internet menjadi suatu medium yang multiintepretasi dan menjadi sarana anonimitas yang terbuka.

3. Pesantren Harus Beradaptasi dengan Globalisasi
Kelahiran pondok pesantren adalah karena adanya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Karena lahir dari tuntutan umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekita r.
Harus diakui bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren sudah melekat dalam kehidupan di Indonesia serta merupakan kreasi budaya Indonesia. Pondok pesantren adalah aset pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini agak terabaikan. Selama ini, pondok pesantren cenderung dibiarkan berjalan sendiri, dan kurang begitu diakomodir dalam sistem pendidikan nasional, padahal sumbangan yang diberikan oleh pesantren terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangatlah besar. Karakter khas pondok pesantren yang merakyat, merupakan potensi yang seharusnya diperhatikan dan diberdayakan secara berkelanjutan dan terprogram.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini, ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dan berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Arus globalisasi yang kian hari semakin deras tidak menggoyahkan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan pokok bagi semua civitas dan warga pesantren. Bahkan tatanan moral yang dipegangi inilah yang membuat ia semakin eksis. Nilai-nilai moral tersebut menjadi pegangan dan acuan dalam segala aktifitas dan menjadi titik pokok sistem pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Pendidikan pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam banyak perspektif, pendidikan di pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa dibaca sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren mampu memberi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sini, pesantren mendidik santri kehidupan praktis di masyarakat tentang bagaimana mereka menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. selain itu sistem pendidikannya juga dapat dengan mudah menyesuaikan dengan sistem pendidikan formal dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengapdosian sistem pendidikan umum yang merupakan proses timbal balik antara pola pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan "umum" yang ada di luar pesantren. Meskipun menurut Nurcholish Madjid pesantren tidak mengenal istilah kurikulum, terutama pada masa prakemerdekaan, tapi pesantren telah memberikan materi pendidikan yang cukup terprogram dan bahkan memberikan materi keterampilan.
Memang harus diakui, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum, karena tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Namun demikian pesantren terbukti telah mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, sekarang merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya perlente, menulis menggunakan komputer, dan tidur di gedung-gedung yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota.” Bahkan, santri yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi mempunyai potensi intelektualitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan santri, khususnya yang telah berpendidikan tinggi, ikut aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan.
Berdasarkan catatan di atas, tidak mengherankan jika pesantren telah banyak melahirkan intelektual atau cendekiawan yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Nama-nama seperti Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Fakih Usman, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi lainnya adalah tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh ini menurut Dawam Rahardjo disebut sebagai kiai intelektual atau ulama cendekiawan.
Ketika wacana Islam liberal mengemuka, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam. Tidak jarang pemikiran-pemikiran yang progresif dan di luar pemikiran mainstream muncul dari pesantren. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang lebih berani dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan memperkaya literatur-literatur mereka dengan wacana Islam kontemporer seperti Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya.
Dampak negatif globalisasi sejatinya dapat diimbangi oleh pesantren dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses informasi yang ditawarkan untuk menunjang proses pembelajaran dan memperluas jaringan dakwah. Komputer, internet, dan alat-alat modern sudah dapat dijumpai di pondok-pondok pesantren. Para santri di beberapa pesantren juga telah mengikuti pelatihan teknologi informasi untuk menambah wawasan agar mereka tidak gagap teknologi. Pelatihan ini didukung penuh oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan harian umum Republika yang diluncurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kalangan pesantren yang bertajuk ‘Santri Indigo’. Kegiatan ini bertujuan agar para santri tidak gagap teknologi (gatek) internet. Kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan santri-santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahmi dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pendidikan pesantren modern tidak boleh mengesampingkan pendidikan teknologi. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental. Untuk itulah pendidikan semacam SMK didirikan di pesantren. Suatu usaha untuk mencetak tenaga profesional di bidang IT tetapi berakhlaq santri. Bahkan sudah ada pesantren yang menjadi mitra penyelenggara Program Pendidikan Jarak Jauh berbasis Internet dari sebuah institusi di Jakarta. Untuk menindaklanjuti program tersebut, diselengarakan workshop yang bertema “Workshop Needs Assessment for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren” yang dilanjutkan dengan “Curriculum Workshop for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren”. Arahnya memetakan kondisi di pesantren berkaitan dengan pelaksanaan program dan perancangan kurikulum untuk melaksanakan program-program tersebut.
Santri pesantren diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.

4. Internet bagi Pesantren
Internet adalah keajaiban masa kini. Tidak bisa dihindari, ke depan, para santri akan hidup pada situasi yang, mungkin, tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Situasi di mana dunia yang sangat luas ini telah disatukan. Batas geografis sudah tidak ada artinya. Informasi dari satu ujung dunia bisa serta merta diketahui oleh mereka yang berada pada ujung dunia lainnya pada waktu yang bersamaan. Dunia telah menjadi begitu kecil
Adalah internet yang membawa segala keajaiban itu. Para santri akan hidup di mana internet akan menjadi sebuah keniscayaan dalam budaya dan peradaban hidup masyarakat. Berupaya menafikan keberadaannya hanya akan mendatangkan kesia-siaan dan hanya akan menempatkan kita menjadi sekelompok orang-orang yang terasing di tengah-tengah hiruk pikuk dunia.
Internet adalah pisau bermata dua. Ia dapat mendatangkan manfaat begitu besar dalam hidup kita sampai batas yang tidak bisa kita perkirakan. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ia pun bisa menjadi mesin giling yang akan menghacurkan tanpa ampun moralitas kita sebagai santri: sekelompok manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai transenden. Banyak hal yang menyebabkan kenapa Pesantren terkesan menutup diri. Mulai dari gaya hidup ‘uzlah’ yang dipilih, pendidikan ala protective boarding school yang sengaja dibentuk, atau bahkan karena ada jarak antara dunia pesantren yang kental dengan independensi dan kewirausahaan dengan pihak yang berkuasa (pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan)
Pengasuh pesantren pun harus mulai merubah sikap dan tradisi mereka. Tidak ada lagi budaya “Kyai selalu benar” dan bersih dari kritikan. Akuntabilitas pengelolaan pesantren pun menjadi komoditas yang harus siap di sharing dengan para stake holders. Hal ini terutama terjadi di beberapa Pesantren yang menerapkan manajemen modern dalam pengelolaannya, seperti contohnya. Sepertinya, halangan terbesar dari budaya modern, termasuk keterbukaan dan kebebasan Informasi adalah budaya tradisional pesantren itu sendiri. Benturan budaya inilah yang menjadi tantangan dunia pesantren itu sendiri. Sampai mana batas-batas kebebasan menyampaikan informasi? Bagaimana menggabungkan budaya uwuh pakewuh yang kental di dunia pesantren dengan budaya blogging yang mengagungkan kebebasan berpendapat ? Sejauh mana batas-batas privasi yang bisa di akses oleh public ?
Terlepas dari itu semua, internet dan blogging bisa menjadi alternatif yang menarik untuk bisa menjawab tantangan Pondok Pesantren.
Blogging bisa menjadi pilihan menarik untuk dalam hal keterbukaan sehingga tidak saja menghilangkan tuduhan miring dan kecurigaan yang tidak beralasan dari beberapa pihak, terutama terkait dengan isu Islam radikal, Islam Fundamental, Islam Liberal sampai juga hal yang menyangkut terorisme.
Blogging pun bisa menjadi tools of education yang efektif, terutama dalam mengembangkan kualitas pendidik dan juga anak didik. Seperti yang kita tahu, internet dan tetek bengeknya adalah hal yang lazim diketahui oleh generasi kedepan untuk bisa bersaing. Dan blogging adalah salah satu tools yang paling menarik karena bisa melatih kemampuan menulis, berfikir kritis, berargumentasi dan bersikap terbuka.
Lebih jauh, blogging, jika diseriuskan, bisa menjadi lumbung penghasilan tambahan untuk para asatidz, guru, pendidik maupun santri dengan hanya bermodalkan sedikit sentuhan kreativitas. Dan tentunya, ini secara tidak langsung akan membantu dunia pendidikan secara keseluruhan, tidak terkecuali Pesantren dan meringankan beban pemerintah.
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi kesempatan yang sama dengan dunia pendidikan umum kepada dunia pesantren didalam meningkatkan kemampuan mengelola Teknologi Informasi sehingga keterbukaan menjadi hal yang lazim di lingkungan itu.
Selain dari hal positif dan negatifnya kehadiran Blog di kalangan Pesantren, kegiatan “ngeblog” di kalangan santri dan para ustadz merupakan hal yang sangat menarik.
Ketertarikan itu sering kali disikapi dengan dengan sikap “pesimis” oleh mayoritas kalangan Pesantren, khususnya pesantren yang jauh dari jangkauan “koneksi internet”. Perlu diketahui, bahwa 14,000 Pondok Pesantren di Indonesia (data Dep. Agama 2007), 90%nya berada di daerah terpencil dan sulit dijangkau “koneksi internet”. Contohnya, tidak perlu jauh-jauh. Pesantren Al-Mansur Cabang ke 3 Darunnajah 17Km dari Kota Serang, baru dapat saluran telepon tahun 2004, dan hingga kini belum dapat mengakses Internet dari Pemerintah (Telkom;speedy). Apalagi pesantren-pesantren dengan jutaan santri, sangat menunggu koneksi yang baik untuk mendorong peningkatan sumber daya manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa internet baru dilegalkan bagi pesantren yang aliran pesantrenya adalah pesantren modern. Sedangkan pesantren yang salafiyah masih menutup diri pada internet karena takut dengan isu-isu negative dalam internet tersebut.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Internet adalah teknologi global yang tidak kenal dengan ruang jarak dan waktu, dapat menembus fektor-fektor negara sehingga tidak ada sekat lagi di dalamnya. Segala informasi ada di dalamnya, baik informasi positif dan juga informasi negative. Dalam hal ini pemakai internet dihadapkan pada pilihan dan tantangan dalam untuk memilah dan memilih informasi yang berguna. Oleh karena itu, filter terhadap informasi itu sangat diperluakan.
Tidak ubahnya dengan pesantren yang menghadapi tantangan globalisasi, mau atau tidak mau kalo tidak ingin ketinggalan informasi maka harus beradaptsi dengan teknologi modern di masa globalisasi ini seperti internet.
Internet di umpanakan sebagai pisau bermata dua yang memiliki nilai positif atau negative tergantung pada pemanfaatan si pemakai. Pondok pesantren menurut makalah di atas sangat sedikit sekali yang telah menggunakan fasilitas internet, yang menggunakan fasilitas ini adalah pondok pesentren yang beraliran modern.





DAFTAR PUSTAKA

Azizy, Ahmad Qodi. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif: agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
http://www.daarululuum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96:pesantren-dan-internet&catid=62:artikel&Itemid=389 oleh Imam Mustofa
http://sofwan-manaf.com/tag/blog-pesantren oleh Sofwan manaf
Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo: Era Intermedia.
Mas'ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Mashhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Wahid, Abdurrahman, dalam Prolog Buku Pondok Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

internet di lingkungan pesantren (abdul zen alfonso)

INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN





Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Nur Fuadi, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Dhiyah Rachmatika (072331047)
Dian Puspaningsih (072331048)
Didi Wibiseno (072331049)
Duriyah (072331050)
Dwi Setyowati (072331051)
Diyah Nurmanita S (072331052) Ekawati (072331053)
Endah Iriany (072331054)
Endro Suharyono (072331055)
Era Wahyu Esti F (072331056)
Esti Fitria (072331057)
Smt/Prodi :4/PAI-2
Jurusan : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2009
BAB I
PENDAHULUAN

Puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Kepada keluarganya, para sahabatnya, tabiin, sampai kita sebagai umatnya. Aamiin…
Pesantren menduduki peran yang sangat signifikan, dimana kiprah para ulama dalam hal ini menjadi tak terelakkan dalam sejarah pendidikan Islam di tanah air. Hal tersebut seiring dengan nilai perjuangan yang terus didengungkan para pounding father bangsa Indonesia.
Sebagai sebuah refleksi, pembicaraan tentang pesantren ini menjadi keniscayaan bagi setiap kita yang berkiprah di dalamnya, setidaknya dapat menjadi tambahan khazanah intelektual dari bangsa ini dan generasi penerus.
informasi terjadi globalisasi pada perkembangan mutakhir teknologi
internet di dalamnya telah secara revolusioner pada tatanan sosial
dan budaya dalam skala dunia. Pemahaman konvensional
tentang 'masyarakat', 'komunitas', 'interaksi sosial',
serta 'budaya' mendapatkan satu tantangan besar dengan telah
memasyarakatnya teknologi informasi tersebut.
Realitas-realitas sosial-budaya yang ada mendapatkan tandingan-
tandingan, yang pada akhirnya mengaburkan batas di antara
keduanya. 'Internet' sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan
informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk 'komunitas'
sendiri (virtual community), bentuk 'realitas'-nya sendiri (virtual
reality) dan bentuk 'ruang'-nya sendiri (cyberspace).
Disisi lain ada sebuah komunitas yang belum mampu untuk berubah yaitu
pesantren. Komunitas pesantren kenapa sangat sulit untuk menerima
perkembangan tehnologi informasi, alasan yang utama adalah para kyai
atau ulama yang takut kehilangan otoritasnya. sehingga penolakkan itu
menjadi sebuah penolakkan teologis. Dari sini pertanyaan besar
kemudian muncul sampai kapan komunitas ini akan terus bertahan
seperti itu ditengah globalisasi yang sedang mengelilingi kita?? Dan
bagaimana strategi yang tepat untuk menggapai kemajuan umat Islam
dimasa depan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi??
Dari sini menarik sekali kiranya membahas masalah tentang internet di lingkungan pesantren. Bagaimanakah internet bisa masuk kedalah pesantren? ditolak mentah-mentahkah ataukah diterima dengan lapang dada?
Penulis ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa yang memberikan masukkan saat perkuliahan bagi sempurnanya tulisan ini. Tak lupa terima kasih pula kepada anda sidang pembaca yang sudi membaca karya sederhana ini ini.











BAB II
INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN

1. Pengertian dan Eksistensi Pondok Pesantren dalam Rekaman Sejarah
Pondok Pesantren merupakan lembaga studi Islam yang punya andil historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Maka wajarlah apabila banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal; dan meskipun ada hanya dapat diikuti oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena adanya tuntutan dari umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Menurut data Departemen Agama, pada tahun 1948-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Namun keterangan ini kurang meyakinkan, karena apabila ada pesantren Jan Tampes II maka ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Ada pula yang mencatat bahwa pondok pesantren muncul sejak munculnya masyaraka Islam di Nusantara pada abad XIII.
Seiring dengan perjalanan waktu, pendidikan pondok pesantren mengalami perkembangan. Lembaga ini semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "Politik Etis" pemerintah kolonial Belanda pada akahir abad XIX. Sikap non-koperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda inilah pondok pesantren mendapat tekanan yang cukup berat.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam, khusunya pesantren, karena berarti tidak ada lagi tekanan dari penjajah asing untuk menjalankan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Pada masa ini pesantren mulai menata diri dan memapankan posisinya sebagai lembaga pendidikan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid sebenarnya sejak tahun 1920-an Pondok Pesantren telah mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan pesantren sendiri. Kemudian pada tahun 1930-an, pondok pesantren sudah memperlihatkan kurikulum. Puncaknya kemapanan sekolah agama negeri di lingkungan pondok pesantren terjadi sekitar 1960-an meski saat itu juga terjadi percobaan isolasi di berbagai pondok pesantren, terutama menjelang G 30 S/PKI.
Memasuki era 1970-an pondok pesantren mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan dan perkembangan ini bisi dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan bahwa pada tahun 1977 jumlah pondok pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Kemudian pada tahun 1985 jumlah ini meningkat cukup drastis di mana jumlah pondok pesantren mencapai 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai 1.084.801 orang. Pada tahun 1997, jumlah ini melonjak menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.770.768 orang. Pada tahun 2001 jumlah pondok pesantren terus meningkat mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri 2.737.805 orang.
Perkembangan kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: pertama, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat, pondok pesantren yang hanya menjadi tempat melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, jelas bahwa pondok pesantren tidak hanya bisa bertahan, akan tetapi juga berkembang dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Dalam mengembangkan pola pendidikan dan mentransformasikan diri menjadi lembaga pendidikan modern, tampaknya pondok pesantren tidak tergesa-gesa dan cukup berhati-hati. Hal ini terlihat dari penerimaan dan penyesuaian pola pendidikan yang hanya dalam skala yang sangat terbatas pada hal-hal yang mendukung komunitas pesantren itu sendiri. Azyumardi Azra berpendapat bahwa pesantren pada mulanya hanya rural-based institution yang kemudian menjadi lembaga pendidikan urban, yaitu munculnya sejumlah pondok pesantren di kota-kota.
Ketika gerbang reformasi dibuka, peran dan kiprah pesantren semakin diperhitungkan dalam berbagai bidang. Dari bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga sosial. Dalam bidang politik misalnya, pesantren dilirik oleh kalangan elit politik sebagai aset yang dapat menjadi penunjang tujuan politik. Sentralitas kepemimpinan Kiai dan banyaknya massa sang Kiai membuat pondok pesantren sering didekati dan dimanfaatkan oleh kalangan elit politik.

2. Positif dan Negatif Internet
Internet ibaratnya suatu gajah yang ingin coba dikenali karena kabar manfaat dan kemasyalatannya. Sebut saja, yang populer dewasa di masyarakat adalah pandangan bahwa internet bisa diidentikkan dengan pornografi. Mungkin saja set of mind yang terangkat kepermukaan akhir-akhir ini adalah “Kalau mau cari yang porno ada di Internet”. Bahkan yang lebih parah lagi adalah internet=pornografi. Pandangan demikian tentu saja memberikan dampak kepada masyarakat dan menutupi apa yang sebenarnya bisa dilakukan dengan Internet.
Internet, sebagai suatu infrastruktur awalnya adalah infrastruktur telekomunikasi yang dikembangkan oleh para empu teknologi komputer dan telekomunikasi dari ruang dan garasi riset di Amerika Serikat di sekitar akhir dasawarsa 60-an. Kemudian, Dephankam AS melalui program ARPA mendanai pengembangan lebih lanjut riset-riset tersebut sebagai suatu alternatif sistem telekomunikasi untuk mengantisipasi serangan nuklir.
Internet pada akhirnya adalah produk teknologi perang dingin yang kemudian (kembali) dielobrasi lebih jauh untuk kepentingan sipil. Peranannya yang semakin signifikan kemudian tidak menjadikannya sebagai sarana telekomunikasi saja. Namun berkembang lebih jauh memenuhi dan menciptakan berbagai kebutuhan masyarakat modern mulai dari pengiriman surel yang sangat praktis, efisien dan murah, forum diskusi, media online, sarana jual beli dan juga sarana untuk menampilkan semangat spiritualisme.
Sampai sekarang, walaupun Amerika Serikat bisa dianggap sebagai pemrakarsa teknologi Internet, tidak ada satu pun negara atau entitas yang berhak mengakui kepemilikan infrastruktur Internet. Internet pada akhirnya berkembang demikian pesat tanpa pemilikan dan sangat terbuka. Siapapun yang mau memanfaatkan dan berkiprah untuk memanfaatkan Internet tidak ada yang melarang. Namun disinilah kemudian masalahnya muncul. Dengan keterbukaannya ini, Internet berkembang menjadi suatu sarana, suatu media baru dimana \\\"The Good, The Bad & The Ugly\\\" cuma dipisahkan oleh satu klik tetikus (mouse) pemakainya; Dimana mudharat dan manfaat sama-sama tampil sejajar; Dimana pornografi dan sopan santun bisa saling berselisih atau tampil bersamaan. Internet menjadi suatu medium yang multiintepretasi dan menjadi sarana anonimitas yang terbuka.

3. Pesantren Harus Beradaptasi dengan Globalisasi
Kelahiran pondok pesantren adalah karena adanya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Karena lahir dari tuntutan umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekita r.
Harus diakui bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren sudah melekat dalam kehidupan di Indonesia serta merupakan kreasi budaya Indonesia. Pondok pesantren adalah aset pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini agak terabaikan. Selama ini, pondok pesantren cenderung dibiarkan berjalan sendiri, dan kurang begitu diakomodir dalam sistem pendidikan nasional, padahal sumbangan yang diberikan oleh pesantren terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangatlah besar. Karakter khas pondok pesantren yang merakyat, merupakan potensi yang seharusnya diperhatikan dan diberdayakan secara berkelanjutan dan terprogram.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini, ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dan berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Arus globalisasi yang kian hari semakin deras tidak menggoyahkan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan pokok bagi semua civitas dan warga pesantren. Bahkan tatanan moral yang dipegangi inilah yang membuat ia semakin eksis. Nilai-nilai moral tersebut menjadi pegangan dan acuan dalam segala aktifitas dan menjadi titik pokok sistem pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Pendidikan pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam banyak perspektif, pendidikan di pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa dibaca sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren mampu memberi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sini, pesantren mendidik santri kehidupan praktis di masyarakat tentang bagaimana mereka menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. selain itu sistem pendidikannya juga dapat dengan mudah menyesuaikan dengan sistem pendidikan formal dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengapdosian sistem pendidikan umum yang merupakan proses timbal balik antara pola pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan "umum" yang ada di luar pesantren. Meskipun menurut Nurcholish Madjid pesantren tidak mengenal istilah kurikulum, terutama pada masa prakemerdekaan, tapi pesantren telah memberikan materi pendidikan yang cukup terprogram dan bahkan memberikan materi keterampilan.
Memang harus diakui, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum, karena tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Namun demikian pesantren terbukti telah mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, sekarang merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya perlente, menulis menggunakan komputer, dan tidur di gedung-gedung yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota.” Bahkan, santri yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi mempunyai potensi intelektualitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan santri, khususnya yang telah berpendidikan tinggi, ikut aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan.
Berdasarkan catatan di atas, tidak mengherankan jika pesantren telah banyak melahirkan intelektual atau cendekiawan yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Nama-nama seperti Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Fakih Usman, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi lainnya adalah tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh ini menurut Dawam Rahardjo disebut sebagai kiai intelektual atau ulama cendekiawan.
Ketika wacana Islam liberal mengemuka, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam. Tidak jarang pemikiran-pemikiran yang progresif dan di luar pemikiran mainstream muncul dari pesantren. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang lebih berani dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan memperkaya literatur-literatur mereka dengan wacana Islam kontemporer seperti Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya.
Dampak negatif globalisasi sejatinya dapat diimbangi oleh pesantren dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses informasi yang ditawarkan untuk menunjang proses pembelajaran dan memperluas jaringan dakwah. Komputer, internet, dan alat-alat modern sudah dapat dijumpai di pondok-pondok pesantren. Para santri di beberapa pesantren juga telah mengikuti pelatihan teknologi informasi untuk menambah wawasan agar mereka tidak gagap teknologi. Pelatihan ini didukung penuh oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan harian umum Republika yang diluncurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kalangan pesantren yang bertajuk ‘Santri Indigo’. Kegiatan ini bertujuan agar para santri tidak gagap teknologi (gatek) internet. Kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan santri-santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahmi dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pendidikan pesantren modern tidak boleh mengesampingkan pendidikan teknologi. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental. Untuk itulah pendidikan semacam SMK didirikan di pesantren. Suatu usaha untuk mencetak tenaga profesional di bidang IT tetapi berakhlaq santri. Bahkan sudah ada pesantren yang menjadi mitra penyelenggara Program Pendidikan Jarak Jauh berbasis Internet dari sebuah institusi di Jakarta. Untuk menindaklanjuti program tersebut, diselengarakan workshop yang bertema “Workshop Needs Assessment for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren” yang dilanjutkan dengan “Curriculum Workshop for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren”. Arahnya memetakan kondisi di pesantren berkaitan dengan pelaksanaan program dan perancangan kurikulum untuk melaksanakan program-program tersebut.
Santri pesantren diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.

4. Internet bagi Pesantren
Internet adalah keajaiban masa kini. Tidak bisa dihindari, ke depan, para santri akan hidup pada situasi yang, mungkin, tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Situasi di mana dunia yang sangat luas ini telah disatukan. Batas geografis sudah tidak ada artinya. Informasi dari satu ujung dunia bisa serta merta diketahui oleh mereka yang berada pada ujung dunia lainnya pada waktu yang bersamaan. Dunia telah menjadi begitu kecil
Adalah internet yang membawa segala keajaiban itu. Para santri akan hidup di mana internet akan menjadi sebuah keniscayaan dalam budaya dan peradaban hidup masyarakat. Berupaya menafikan keberadaannya hanya akan mendatangkan kesia-siaan dan hanya akan menempatkan kita menjadi sekelompok orang-orang yang terasing di tengah-tengah hiruk pikuk dunia.
Internet adalah pisau bermata dua. Ia dapat mendatangkan manfaat begitu besar dalam hidup kita sampai batas yang tidak bisa kita perkirakan. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ia pun bisa menjadi mesin giling yang akan menghacurkan tanpa ampun moralitas kita sebagai santri: sekelompok manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai transenden. Banyak hal yang menyebabkan kenapa Pesantren terkesan menutup diri. Mulai dari gaya hidup ‘uzlah’ yang dipilih, pendidikan ala protective boarding school yang sengaja dibentuk, atau bahkan karena ada jarak antara dunia pesantren yang kental dengan independensi dan kewirausahaan dengan pihak yang berkuasa (pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan)
Pengasuh pesantren pun harus mulai merubah sikap dan tradisi mereka. Tidak ada lagi budaya “Kyai selalu benar” dan bersih dari kritikan. Akuntabilitas pengelolaan pesantren pun menjadi komoditas yang harus siap di sharing dengan para stake holders. Hal ini terutama terjadi di beberapa Pesantren yang menerapkan manajemen modern dalam pengelolaannya, seperti contohnya. Sepertinya, halangan terbesar dari budaya modern, termasuk keterbukaan dan kebebasan Informasi adalah budaya tradisional pesantren itu sendiri. Benturan budaya inilah yang menjadi tantangan dunia pesantren itu sendiri. Sampai mana batas-batas kebebasan menyampaikan informasi? Bagaimana menggabungkan budaya uwuh pakewuh yang kental di dunia pesantren dengan budaya blogging yang mengagungkan kebebasan berpendapat ? Sejauh mana batas-batas privasi yang bisa di akses oleh public ?
Terlepas dari itu semua, internet dan blogging bisa menjadi alternatif yang menarik untuk bisa menjawab tantangan Pondok Pesantren.
Blogging bisa menjadi pilihan menarik untuk dalam hal keterbukaan sehingga tidak saja menghilangkan tuduhan miring dan kecurigaan yang tidak beralasan dari beberapa pihak, terutama terkait dengan isu Islam radikal, Islam Fundamental, Islam Liberal sampai juga hal yang menyangkut terorisme.
Blogging pun bisa menjadi tools of education yang efektif, terutama dalam mengembangkan kualitas pendidik dan juga anak didik. Seperti yang kita tahu, internet dan tetek bengeknya adalah hal yang lazim diketahui oleh generasi kedepan untuk bisa bersaing. Dan blogging adalah salah satu tools yang paling menarik karena bisa melatih kemampuan menulis, berfikir kritis, berargumentasi dan bersikap terbuka.
Lebih jauh, blogging, jika diseriuskan, bisa menjadi lumbung penghasilan tambahan untuk para asatidz, guru, pendidik maupun santri dengan hanya bermodalkan sedikit sentuhan kreativitas. Dan tentunya, ini secara tidak langsung akan membantu dunia pendidikan secara keseluruhan, tidak terkecuali Pesantren dan meringankan beban pemerintah.
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi kesempatan yang sama dengan dunia pendidikan umum kepada dunia pesantren didalam meningkatkan kemampuan mengelola Teknologi Informasi sehingga keterbukaan menjadi hal yang lazim di lingkungan itu.
Selain dari hal positif dan negatifnya kehadiran Blog di kalangan Pesantren, kegiatan “ngeblog” di kalangan santri dan para ustadz merupakan hal yang sangat menarik.
Ketertarikan itu sering kali disikapi dengan dengan sikap “pesimis” oleh mayoritas kalangan Pesantren, khususnya pesantren yang jauh dari jangkauan “koneksi internet”. Perlu diketahui, bahwa 14,000 Pondok Pesantren di Indonesia (data Dep. Agama 2007), 90%nya berada di daerah terpencil dan sulit dijangkau “koneksi internet”. Contohnya, tidak perlu jauh-jauh. Pesantren Al-Mansur Cabang ke 3 Darunnajah 17Km dari Kota Serang, baru dapat saluran telepon tahun 2004, dan hingga kini belum dapat mengakses Internet dari Pemerintah (Telkom;speedy). Apalagi pesantren-pesantren dengan jutaan santri, sangat menunggu koneksi yang baik untuk mendorong peningkatan sumber daya manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa internet baru dilegalkan bagi pesantren yang aliran pesantrenya adalah pesantren modern. Sedangkan pesantren yang salafiyah masih menutup diri pada internet karena takut dengan isu-isu negative dalam internet tersebut.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Internet adalah teknologi global yang tidak kenal dengan ruang jarak dan waktu, dapat menembus fektor-fektor negara sehingga tidak ada sekat lagi di dalamnya. Segala informasi ada di dalamnya, baik informasi positif dan juga informasi negative. Dalam hal ini pemakai internet dihadapkan pada pilihan dan tantangan dalam untuk memilah dan memilih informasi yang berguna. Oleh karena itu, filter terhadap informasi itu sangat diperluakan.
Tidak ubahnya dengan pesantren yang menghadapi tantangan globalisasi, mau atau tidak mau kalo tidak ingin ketinggalan informasi maka harus beradaptsi dengan teknologi modern di masa globalisasi ini seperti internet.
Internet di umpanakan sebagai pisau bermata dua yang memiliki nilai positif atau negative tergantung pada pemanfaatan si pemakai. Pondok pesantren menurut makalah di atas sangat sedikit sekali yang telah menggunakan fasilitas internet, yang menggunakan fasilitas ini adalah pondok pesentren yang beraliran modern.





DAFTAR PUSTAKA

Azizy, Ahmad Qodi. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif: agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
http://www.daarululuum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96:pesantren-dan-internet&catid=62:artikel&Itemid=389 oleh Imam Mustofa
http://sofwan-manaf.com/tag/blog-pesantren oleh Sofwan manaf
Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo: Era Intermedia.
Mas'ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Mashhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Wahid, Abdurrahman, dalam Prolog Buku Pondok Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

pendidikan pranatal

TUGAS PENDIDIKAN PRANATAL

1. APAKAH ADA PENDIDIKAN PRANATAL?
ADA!
2. APAKAH ADA PENDIDIKAN PRA NATAL ?
Pendidikan prenatal adalah suatu usaha untuk member I pendidikan pada anak sebelum anak atau bayi lahir ke dunia. Saat ini, tengah berkembang pendidikan pra natal, pendidikan bagi para calon ibu untuk menyiapkan kelahiran seorang generasi unggul dan kompetitif. Pendidikan yang dimulai sejak masa - masa awal kehamilan, memberikan berbagai panduan bagi mereka untuk memulai mendidikan janin dari dalam kandungan
3. KAPAN PENDIDIKAN PRANATAL ITU?
Saat bayi belum lahir kedunia. Pendidikan yang dimulai sejak masa - masa awal kehamilan atau sebelum hamil, memberikan berbagai panduan bagi mereka untuk memulai mendidikan janin dari dalam kandungan.
4. BAGAIMANA STRATEGI PENDIDIKAN PRANATAL?
1. Mencari istri yang shalihah
2. Memakan makanan yang halal
3. Memberi ketenangan pada istri agar psikisnya baik yang berpengaruh pada anak
4. Memberi suara musik kelasik pada anak dalam kandungan
5. Memberi sentuhan pada ibu yang mengandung oleh ibu atau suami
6. Membaca surat-surat khusus dalam Al-Qur’an



5. BAGAIMANA DESAIN SOSIO-PSIKIS PENDIDIKAN PRANATAL?
Pendidikan Pra Natal merupakan sebuah langkah awal untuk menyiapkan generasi unggul yang diharapkan. Secara formal memang belum ada pendidikan seperti ini. Namun diberbagai rumah sakit, sudah mulai dikembangkan untuk menyiapkan ibu dalam menyambut kelahiran sang buah hati. Namun demikian, pendidikan pra natal yang diperlukan adalah bukan hanya sekedar bagaimana sang ibu siap dalam proses kelahiran. Akan tetapi, lebih diutamakan untuk menyiapkan sang anak tumbuh optimal dalam kandungan. Desain dari Sosio-Psiksi adalah melibatkan peran orang tua yaitu suami dan istri dalam menjalin hubungan harus dibuat harmonis agar menciptakan kondisi psikis janin yang sehat dan juga seorang suami harus sering mengajak bicara janin, menyentuh kandungan dan mengajak bermain janin karena janin telah dapat merasakan kehadiran seorang ayah. Di sini ada hubungan sosio (hubungan manusia dengan manusia yaitu ayah, ibu dan janin) dan juga psikis yaitu terciptanya suasana yang menyenangkan.

6. BAGAIMANA IMPLIKASI PENDIDIKAN PRATAL?
Ketika janin sedang bertumbuh, seluruh organ tumbuh sedang mengalami proses perkembangan yang pesat. Salah satunya adalah otak. Dalam pendidikan tersebut, diarahkan agar otak dapat mengalami rangsangan dan neuron mengalami sambungan -sambungan yang pesat. Seperti yang dituturkan oleh Doktor Steven Carr Leon dalam artikelnya, mengenai rahasia orang Yahudi yang cenderung cerdas dan kompetitif. Mereka telah menerapkan pendidikan pra natal sejak dahulu. Ketika masa kehamilan, pertumbuhan otak kanan mereka rangsang dengan bermain musik atau memperdengarkan musik bagi sang janin. Demikian halnya dengan otak kiri, telah mulai dilatih dengan intens mengerjakan soal - soal matematika yang memang menjadi konsumsi otak kiri. Selama kehamilan, nutrisi sangat mereka perhatikan dengan mengkonsumi asupan makanan yang sangat membantu dalam mengembangkan kecerdasan dan kesehatan sang calon anak.

Kamis, 18 Juni 2009

Makalah Penafsir Mahmud Saltut



FOTONYA ABDUL ZEN
BAB I
PENDAHULUAN

TAFSIR Mufassir tafsir tematik aktif mencari topik dan jawaban dalam ayat Alquran terkait satu bahasan. Usaha untuk menafsirkan Alquran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Nabi-lah yang mempunyai otoritas dan tugas utama dalam menjelaskan wahyu Allah SWT. Setelah Nabi wafat, para sahabat lantas meneruskan tugas mulia tersebut. Pada masa sahabat, penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan Alquran dengan Alquran atau Alquran dengan hadis. Setelah itu, mulai bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan, seperti bahasa, ilmu pengetahuan, fikih, sejarah, tasawuf dan teologi. Dalam perkembangan selanjutnya, ditemui tafsir-tafsir dengan menitikberatkan pembahasan pada masalah-masalah tertentu, yang dibahas secara tuntas dan menyeluruh. Tafsir dengan metode ini kemudian dikenal dengan Tafsir Maudhu'i (Tafsir Tematik).Adalah Prof Dr Mahmud Syaltut, seorang ulama dan pemikir Mesir yang pernah menjadi Rektor Universitas Al Azhar Mesir yang ke-41, dikenal sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematik.
Menarik sekali membahas tentang tafsir tematik, karena tafsir tematik adalah tafsir yang memudahkan kita untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tema tertentu kemudian kita cari surat yang menjelaskannya dalam al-Qur’an sehingga dengan ini kita mengetahui mana saja surat dan ayat yang membahas tema yang sedang kita bahas dan bisa menafsirkan sendiri dengan pertimbangan bahasa arab, asbabul nuzul serta pendapat para mufasir yang menerangkan surat atau ayat yang sedang kita bahas.
Oleh karena itu, penyusun merasa tertarik untuk mengkaji metode penafsiran Mahmud saltut ini dan membuat makalah ini yang berjudul metode Penafsiran Mahmud Saltut. Semoga bermanfaat adanya makalah ini, selamat membaca.
BAB II
METODE PENAFSIRAN MAHMUD SALTUT

1. Biografi Mahmud Syaltut sebagai Pelopor Penerapan Tafsir Tematis
Dalam hal kebebasan beragama, ia melihat hal itu sebagai hal yang harus dijamin dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dia adalah salah seorang ulama dan pemikir Islam yang pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini.
Syaltut dilahirkan tahun 1893 di Desa Maniyah, Bani Mansur Provinsi Bukhairah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar Islam). Pendidikannya dimulai di kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat.
Pada tahun 1906, ketika menginjak usia 13 tahun, ia mulai pendidikan formalnya dengan masuk Ma'had Al Iskandariah. Studinya ini dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah 'Alamiyah an-Nizamiyyah (setingkat ijazah S-1) pada tahun 1918.
Kemudian tahun 1919, Syaltut mengajar di almaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya.
Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syekh Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syekh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar).
Syekh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional, dan pemikiran yang bijak.
Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Den Haag, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman.
Tahun 1941 ia menyampaikan sebuah risalah tentang 'Pertanggungjawaban Sipil dan Pidana dalam Syariat Islam' (Al-Mas'uliyah al-Madaniyah wa al-Jina'iyyah fi asy-syariah al-Islamiyah). Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik sehingga secara aklamasi Syaltut diangkat menjadi anggota termuda Majelis Ulama-ulama Besar.
Setahun kemudian Syaltut mengemukakan pandangannya mengenai perbaikan Universitas Al-Azhar dalam bidang kebahasaan. Lantas sebagai realisasi dari harapannya ini pada tahun 1946 dibentuklah lembaga bahasa dan dia diangkat menjadi salah seorang anggotanya. Tahun 1950 ia juga diangkat menjadi pengawas umum pada bagian penelitian dan kebudayaan Islam di Universitas al-Azhar.
Kesempatan ini dia pergunakan sebaik-baiknya untuk meletakkan dasar-dasar pembinaan lembaga ini, terutama guna membina hubungan kebudayaan Mesir dengan kebudayaan Arab dan dunia Islam. Dalam kaitan ini, ia pernah menjadi penasehat Muktamar Islam di bawah pemerintahan Republik Persatuan Arab (federasi Suriah dan Mesir antara tahun 1958-1961).
Hingga pada tanggal 21 Oktober 1958, Syaltut terpilih menjadi Rektor Universitas al-Azhar yang ke-41. Dan sebagai rektor, kini dia memiliki peluang untuk merealisasikan cita-cita maupun pemikirannya demi memajukan universitas tersebut. Upaya yang ditempuh antara lain dengan memindahkan Institut Pembacaan Alquran ke dalam Masjid al-Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah keislaman. Ini sekaligus mengembalikan fungsi al-Azhar sebagai pusat kajian Alquran bagi seluruh umat secara bebas tanpa terikat jam pelajaran dan ujian.
Selain menjabat selaku rektor di universitas terkemuka, Mahmud Syaltut pun memangku jabatan penting sebagai anggota Badan Tertinggi untuk Hubungan-hubungan Kebudayaan dengan Luar Negeri pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Dia pun pernah menjadi anggota Dewan Tertinggi untuk Penyiaran Radio Mesir, anggota Badan Tertinggi untuk Bantuan Musim Dingin serta ketua Badan Penyelidikan Adat dan Tradisi pada Kementerian Sosial Mesir.
Dalam percaturan intelektual, Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam, pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik.
Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah yang karenanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup.
"Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya," ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah.
Syaltut dikenal pula dengan salah satu karyanya menyangkut penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita yakni Alquran wa al-Mar'ah, sehingga dia dipandang sebagai salah seorang pelopor tafsir maududi (tafsir tematis) atau metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan Alquran guna menjawab problema manusia abad modern.
Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhan-nya yang satu dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas.
Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.
Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963. Pengabdian dan sumbangsihnya dalam memajukan Universitas Al-Azhar maupun dalam pemikiran keislaman akan selalu dikenang dan dijadikan pedoman guna mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya umat Islam pada masa kini dan mendatang.

2. Metode Tafsir Syaltut
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).

3. Tafsir Tematik (tafsir maudhu’i)
Menurut bahasa, maudhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.9 Dari kata ini pula diambil istilah hadits maudhu’, hanya saja berbeda dalam pengambilan artinya. Maudhu’i untuk tafsir mengambil arti “yang dibicarakan” yang bersinonim dengan judul, topik, atau sektor sedangkan maudhu’ untuk hadits mengambil arti “yang didustakan” atau yang dibuat-buat/dipalsukan.
Menurut istilah, pengertian tafsir maudhu’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr.Abd. al-Hayy al-Farmawi adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menetibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.
Dengan demikian, tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an mengenai topik atau tema tertentu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kronologis ayat yang dihimpunnya beserta asbab al-nuzul yang mengiringinya dan dijelaskan dengan rinci dan tuntas yang didukung oleh dalil dan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang berasal dari al-Qur’an maupun dari hadits dan pemikiran rasional. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Melihat bentuknya, tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk, yakni : Pertama, pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat.11 Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum pesannya, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasul saw.12 Kedua, adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah yang sama dan diletakkan dalam satu tema bahasan dan kemudian ditafsirkan secara maudhu’i. Bentuk kedua ini yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam makalah ini.
1) Karakteristik Tafsir Maudhu’i.
Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas dan mengarah pada bentuk yang kedua dari metode ini, maka tafsir maudhu’i mempunyai karakteristik atau ciri khas sebagai berikut :
a) Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
b) Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
c) Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
2) Tata Kerja Metode Maudhu’i
Sebagaimana lazimnya sebuah metode, tafsir maudhu’i seperti yang dikemukakan oleh Dr.Abd. al-Hayy al-Farmawiy, memiliki tata kerja atau tata cara serta langkah-langkah pembahasan sebagai berikut :
a) Menetapkan maudhu’/topik/tema/judul al -Qur’an yang akan di bahas.
Dalam menetapkan topik ini para mufassir biasanya mengacu kepada topik-topik yang ada dalam al-Qur’an atau pada persoalan-persoalan kehidupan yang telah atau sedang dihadapi masyarakat. Topik-topik yang ada dalam al-Qur’an, menurut penyusun buku “al-Qur’an dan ilmu pengetahuan” sedikitnya ada 29 ilmu/topik atau judul.14 Sedangkan menurut Muh. Nuruddin Umar, ada 19 bab dan 341 sub bab yang membahas pokok pembicaraan/topik dalam al-Qur’an.15 Atau dapat merujuk pada buku Tafshil ayat al-Qur’an, terjemahan Muh. Fu’ad abd. al-Baqiy, Al-Hayat, karya Muh. Reza Hakimi dan Al-Mu’jam al-Mufahrash li al-alfadz al-Qur’an, karya Muh. Fu’ad abd. al-Baqiy.
Sementara, topik-topik yang berhubungan dengan persoalan-persoalan kehidupan, kiranya mufassir maudhu’i mempelajari problem-problem masyarakat atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban-jawaban al-Qur’an, misalnya petunjuk al-Qur’an mengenai kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain sebagainya.
b) Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan judul / topik yang sudah ditetapkan sebelumnya sambil menertibkannya berdasarkan urutan turunnya, Makkiyyah dan Madaniyahnya serta sesuai dengan riwayat sebab-sebab turunnya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ciri khas medode maudhu’i, pembahasan tafsir ini tidak terikat oleh urutan ayat dan surat yang ada dalam mushhaf, tetapi lebih menitikberatkan pembahasan ayat, berdasarkan tertib masa turunnya. Ayat yang lebih dahulu turun ditempatkan di awal, dan ayat yang turun kemudian ditempatkan berikutnya. Demikian pula ayat yang turun di Mekah (ayat-ayat Makkiyah) didahulukan daripada ayat-ayat yang turun di Medinah (ayat-ayat Madaniyyah). Hal ini dilakukan, karena mufassir berkeyakinan, bahwa al-Qur’an bersesuaian dengan realitas sosial ketika ayat itu turun. Sehingga jasa asbab al-nuzul diperlukan dalam kajian tafsir ini. Disamping itu, dapat ditempatkan secara proporsional, kemungkinan adanya mansukhah.
c) Mengetahui persesuaian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat lainnya dalam masing-masing suratnya atau antara satu surat dengan surat lainnya.
Pengetahuan munasabah ayat atau surat ini diperlukan, karena adanya ayat yang saling menjelaskan dan menguatkan, sekaligus untuk menunjukkan, bahwa tidak ada kontradiksi dalam al-Qur’an. Hanya saja munasabah ayat atau surat ini terikat oleh topik yang sudah ditetapkan.
d) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits-hadits (bila dianggap perlu ) yang relevan dengan pokok / topik pembahasan, sehingga pembahasan menjadi semakin baik dan jelas.
e) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara meng-himpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara yang ‘am dan khash, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Memperhatikan tata cara dan langkah-langkah metode tafsir maudhu’i tersebut apabila dihubungkan dengan karya-karya yang bermunculan dan dianggap menggunakan metode maudhu’i, ada yang memenuhi seluruh prosedur diatas, tapi ada juga yang sebagian saja. Bahkan Dr.M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” halaman 115, mengusulkan untuk memasukkan uraian atau paling tidak mufassir maudhu’i mengetahui lebih dahulu mengenai pengertian kosa-kata ayat sebagaimana yang ditempuh oleh metode Tahliliy.
3) Perbedaan Metode Tafsir Maudhu’i dengan Medote Tafsir Lainnya.
a) Perbedaannya dengan Metode Tafsir Tahlily
1. Pembahasan ayat dalam metode tafsir tahlily mengikuti susunan ayat dan surat di dalam mushhaf, sedangkan metode maudhu’i pembahasan ayat mengacu kepada tema / topik yang telah ditetapkan dan disusun berdasarkan kronologis masa turunnya ayat.
2. Uraian pembahasan tafsir tahlily biasanya meliputi segala segi yang ada dalam ayat atau surat sesuai dengan urutannya dalam mushhaf, sedangkan tafsir maudhu’i pembahasannya terbatas atau terikat pada segi-segi dari tema/topik yang sudah ditetapkan.
3. Pembahasan tafsir tahlily lazimnya mengemukakan arti kosa kata ayat disertai penjelasan dan analisis sesuai dengan metode tafsirnya dan latar belakang pendidikan mufassir. Sedangkan metode maudhu’i penafsir tidak mengemukakan hal yang demikian kecuali sekedar yang diperlukan.
4. Dalam tafsir tahlily sulit untuk dibahas secara tuntas, sesuatu judul/topik pembahasan, karena belum lengkapnya penjelasan aspek-aspek judul dalam sesuatu ayat. Sehingga perlu diterangkan, bahwa pembahasan selengkapnya ada pada ayat yang sebelumnya atau sesudahnya.21 Sedangkan tafsir maudhu’i dapat membahas sesuatu judul/topik secara tuntas dan utuh.
5. Dalam tafsir tahlily, pembahasan munasabah berkisar antara persesuaian ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat yang terletak sebelumnya dalam tertib mushhaf, sedangkan dalam tafsir maudhu’i, munasabah ayat berkisar antara persesuaian ayat yang satu topik.
6. Dalam tafsir tahlily untuk memahami sesuatu judul/topik pembahasan tidak mudah, karena pembahasan judul/topik tersebar dalam beberapa ayat/surat. Sedangkan dalam tafsir maudhu’i masalah al-Qur’an dapat diidentifikasi dan disusun dalam bentuk pembahasan tersendiri, terpisah antara satu dengan yang lainnya, sehingga mampu untuk mengungkap petunjuk al-Qur’an secara memuaskan.
b) Perbedaannya dengan metode tafsir ijmaly.
1. Tafsir ijmaly berusaha mengungkap makna global dari suatu ayat dalam suatu kerangka suatu pembahasan dari lafadz-lafadz ayat yang tersusun dalam mushhaf, sedangkan tafsir maudhu’i pembahasan ayat tidak terikat oleh susunan ayat atau surat dalam mushhaf.
2. Tafsir ijmaly membahas suatu ayat dari suatu surat secara keseluruhan, tidak terfokus pada suatu tema atau pokok bahasan, juga tidak mengemukakan korelasi antar ayat yang membicarakan satu masalah yang sama, sedangkan tafsir maudhu’i membahas satu tema atau pokok bahasan dari berbagai ayat dan surat berdasarkan kronologis masa turunnya dan mengemukakan korelasi antar ayat-ayat pada satu masalah atau tema yang sama.
c) Perbedaannya dengan metode tafsir muqorin.
1. Tafsir muqorin mengemukakan pembahasan tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir lainnya, sedangkan tafsir maudhu’i tidak menempuh cara yang seperti ini, tetapi pembahasan ayat difokuskan tehadap suatu tema yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Tafsir muqorin untuk mencapai tujuannya, meneliti sejumlah ayat al-Qur’an dengan memperhatikan tafsir ayat tersebut dari berbagai mufassir kemudian memban-dingkan arah dan kecenderungan yang diperlihatkan mufassir dalam karya-karya mereka.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas. Metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian:
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
DAFTAR PUSTAKA

'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960.

Ahmad Al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Abdul Djalal, HA, Prof. Dr., Urgensi Tafsir Maudhu’i pada Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Abd. al-Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah, Terj. Suryan A.Jamrah, Jakarta: TP.Raja Grapindo Persada, 1994
Baqir as-Shadr, Trends of History in Qur’an, Terj. M.S.Nasrulloh, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993
Muh. Husen Thabathabai, Al-Qur’an fi al-Islam, Terj. A.Malik Madani, Bandung: Mizan, 1987
M.Quraish Shibab, Dr., Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1992
M.Quraish Sihab, Dr.,Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Nashruddin Baidan, Dr., Metodologi Panafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998