Jumat, 05 Juni 2009

BAB I
PENDAHULUAN

Mendiskusikan konsepsi terminologi ataupun istilah tertentu sebagai sebuah produk kebahasaan akan menjadi sangat menarik ketika dikaitkan dengan kitab suci Al-Qur’ān. Apalagi jika terminologi tersebut merupakan salah satu bagian dari kosa kata yang dipergunakan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Penelitian serius melalui penggunaan metodologi yang benar merupakan sebuah keharusan untuk mendapatkan simpulan akhir yang tepat. Hal ini, selain mengingat betapa tingginya posisi al-Qur’ān sebagai kalāmullāh, juga tak lain karena tingkat supremasi fashāhah dan balāghah kitab suci ini jauh melampaui rata-rata kemampuan manusia (mu’jiz). Diksi (pemilihan kosa kata) yang dipergunakanpun tidak “semena-mena”, tapi bahkan sangat teliti dan memiliki signifikasi (dalālah) tertentu yang telah diperhitungkan ketepatannya dengan matang. Sehingga konsep yang terbentuk dari kajian komprehensif tafsir tematik tersebut kemudian dapat ditarik menjadi konsep induk bagi wilayah kajian ilmu lainnya.
Tulisan ini –secara sederhana dan singkat- berupaya untuk mengkaji terminologi basyīr dan nadzīr yang memang cukup banyak tersaji dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an, baik melalui kosa kata basyīr dan nadzīr itu sendiri dengan segala derivasinya, maupun melalui ayat-ayat yang secara substantif memiliki muatan dari makna basyīr dan nadzīr, untuk kemudian menyimpulkan konsep Al-Qur’an tentang kedua terminologi tersebut dengan menggunakan metode tafsir tematik atau yang lebih dikenal dalam kajian ilmu tafsir sebagai al-tafsīr al-maudlū’iy .
Penggunaan metode tafsir tematik ini diharapkan akan menghasilkan ketajaman lebih di dalam upaya membedah konsep atau tema tertentu dalam Al-Qur’an yang tersebar di berbagai ayatnya dan tidak dapat terjangkau oleh metode tafsīr tahlīliy-tajzi’i yang selama ini banyak dianut oleh mayoritas mufassirūn sepanjang zaman.
Meskipun sebenarnya, sangat sulit bagi penulis untuk melakukan kajian tafsir tematik tentang konsep basyīr dan nadzīr ini dalam arti yang sesungguhnya dikarenakan luasnya cakupan kajian konsep basyīr dan nadzīr tersebut yang tentu saja juga meliputi seluruh ayat-ayat yang berisi janji-janji Allah (āyāt al-wa’d) dan ayat-ayat ancaman (āyāt al-wa’īd), yang mana menurut Al-Zarkasyi (w.794H) pengetahuan tentang ayat-ayat tadzkīr (yang didalamnya termasuk ayat-ayat janji dan ancaman ini) merupakan sepertiga dari induk studi Al-Qur’an.
Selain itu, keterbatasan waktu dan akses referensi juga menjadi kendala yang menghalangi tercapainya hasil yang lebih maksimal. Sehingga dalam kesempatan ini penulis hanya melakukan pembahasan tentang makna dasar kosa kata basyīr dan nadzīr, kemudian mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang mungkin muncul terkait konsep ini yaitu: seberapa penting konsep basyīr dan nadzīr dalam al-Qur’an? Sejauh manakah Al-Qur’an meletakkan basyīr dan nadzīr sebagai sebuah keserasian? Dan benarkah dalam menerapkan konsep ini tabsyīr harus didahulukan dari indzār ?
Adapun pembahasan yang semestinya juga dikaji namun tidak dapat dicapai oleh tulisan ini adalah semisal pertanyaan mengenai bagaimanakah al-Qur’an memberikan contoh penerapan metode (asālīb) tabsyīr dan indzār dalam kegiatan dakwah? Dalam kondisi-kondisi seperti apakah konsep tabsyīr dan indzār dapat diterapkan dengan metode yang barangkali bisa berbeda-beda pada keadaan tertentu?

BAB II
Memahami Konsep Basyīr dan Nadzīr dalam Al-Qur’ān:
Sebuah Upaya Pendekatan Tafsir Tematik

A. Menyelami Makna Dasar Kosa Kata Basyīr dan Nadzīr
a) Basyīr
Kata basyīr ( بشير ) berasal dari akar kata bā syīn rā ( ب ش ر ) yang derivasinya membentuk beberapa kata seperti basyar (manusia), basyarah (bagian luar kulit manusia), mubāsyarah (hubungan suami istri), bisyr (keceriaan wajah), busyrā (kabar gembira), basysyara (menampakkan hasil) dan lain-lain. Ibn Fāris (329-395H) menyatakan bahwa akar kata bā syīn rā memiliki arti dasar “muncul atau terlihatnya sesuatu bersama keindahan” ( ظهور الشّيء مع حُسْنٍ وجمال ). Dan dari makna dasar inilah makna-makna derivasi kata bā syīn rā disandarkan. Sedangkan makna dari basysyara seperti dalam kalimat ( بَشَّرْتُ فُلاَناً أُبَشِّرُهُ تَبشيراً ) adalah memberi kabar baik, namun terkadang juga digunakan untuk mengartikulasikan pemberian kabar buruk sebagai bentuk celaan (tabkīt). Contoh yang terakhir ini dapat dijumpai misalnya dalam Al-Qur’an surah Al ‘Imrān: 21.
•      •        ••    
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memamg tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih.” (Q.S. Al ‘Imrān: 21)
Berbeda dengan Ibn Fāris, Al-Rāghib Al-Asfahāni (w.502H) lebih melihat kata basyarah yang berarti “kulit luar yang terlihat” sebagai pusat arti/makna akar kata bā syīn rā. Menurutnya, manusia disebut basyar (بشر) karena kulitnya yang terlihat jelas tanpa terhalang oleh rambut, berbeda dengan hewan yang tertutup oleh rambut ataupun bulu. Maka tidak mengherankan pula ketika menjelaskan makna kata kerja absyara ( أبشر ) dan basy-syara ( بشّر), yang menjadi muasal kata basyīr, beliau memaknainya dengan “memberikan kabar gembira yang membuat kulit muka menjadi berseri-seri, hal ini dikarenakan jiwa manusia ketika dalam kondisi bergembira darahnya menyebar di permukaan kulit mukanya sebagai mana tersebarnya air getah pada batang pohon”. Al-Asfahāny menambahkan bahwa apa-apa yang dibawa oleh seorang oleh seorang pembawa berita gembira (mubasysyir) disebut dengan busyrā (بشرى ) atau bisyārah (بشارة ).
Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Ibn Jarīr al-Thabariy (224-310H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah/2: 97.
      •            
Artinya :”Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah/2: 97)
Secara lebih tajam dan spesifik beliau menyatakan bahwa menurut tradisi bahasa Arab kata al-bisyārah ( البشارة ) diartikan sebagai “pemberitahuan kepada seseorang seseorang tentang berita yang belum pernah diketahuinya dan dapat membuatnya gembira, sebelum dia mendengarnya dari orang lain atau mengetahuinya dari orang lain.”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kata basyīr dan beberapa derivasinya memiliki dua unsur makna kunci yaitu; (1) adanya proses menampakkan, memberitahukan, atau memberikan informasi, serta (2) sesuatu yang diinformasikan bersifat menggembirakan. Atau kalau kita mengambil pendapat Al-Thabary terdapat unsur ketiga yaitu (3) informasi yang menggembirakan tersebut sebelumnya tidak diketahui oleh penerima.
b) Nadzīr
Kata nadzīr berasal dari akar kata nūn dzāl rā ( ن ذ ر ) yang menunjukkan pada makna dasar menakut-nakuti ( تخويف ) maupun ketakutan ( تخوُّف). Maka dari itu, bersumpah atas nama Allāh untuk melakukan sesuatu dimasa datang disebut dengan al-nadzr (النذر) karena yang bersangkutan takut/khawatir jika sumpahnya tersebut tidak ditepati. Adapun indzār memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata iblāgh yakni penyampaian informasi. Bedanya, yang pertama hampir selalu digunakan untuk menyampaikan berita yang menakutkan.
Ibn Mandhūr (630-711H), meriwatkan pendapat dari Kura’ dan Al-Lihyāniy bahwa makna andzara berarti memberitahu secara mutlak (a’lama) disamping juga bermakna menakut-nakuti (khawwafa) dan memperingatkan (khadzara). Sementara Al-Rāghib al-Asfahāniy menjelaskan bahwa kata al-nadzīr maupun al-mundzir adalah segala sesuatu yang dapat memberikan peringatan (indzār) baik berupa manusia ataupun bukan.
Menurut Ibn ‘Āsyūr, meskipun pada dasarnya indzār dalam Al-Qur’an seringkali mengandung makna pemberitahuan hal-hal yang tidak menyenangkan berupa kebinasaan di hari ahirat, akan tetapi bisa juga mengandung makna ajakan kepada kebaikan –yang menjadi unsur kata tabsyīr-, bahkan juga bisa mencakup makna pengajaran ilmu-ilmu agama sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, sebagaimana dipahami penafsiran kata indzār dalam QS. Al-Taubah/9:122.
                        
Artinya : “ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. Al-Taubah/9:122)
Dalam ayat ini kata indzār yang digunakan bukan tabsyīr atau ta’līm, karena menurut Ibn ‘Āsyūr, meninggalkan larangan (takhliyah) lebih didahulukan dari pada melaksanakan kebaikan (tahliyah).
Dari kajian diatas dapat disimpulkan bahwa kata indzār lebih sering digunakan untuk mengartikulasikan pemberian peringatan atau informasi yang menakutkan, meskipun juga bisa berarti pemberian informasi secara mutlak. Atau dalam konteks beberapa ayat al-Qur’an bisa memiliki arti memberikan peringatan berupa pengajaran pesan-pesan agama Islam.

B. Menggali Konsep Basyīr dan Nadzīr dalam Al-Qurān
Setelah mengetahui makna dasar dari terminologi basyīr dan nadzīr langkah berikutnya yang harus dilakukan untuk menggali konsep Al-Qur’ān tentang dua terminologi tersebut adalah mencari dan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat dua kosa kata tersebut.
Menurut hitungan Prof. Dr. Muhamad Zaki Khidlr akar kata bā syīn rā dengan segala derivasinya dalam al-Qur’ān terulang sebanyak 123 kali. Sedangkan jumlah kosa kata yang diderivasikan dari akar nūn dzāl rā terulang sebanyak 130 kali. Mayoritas atau bahkan hampir keseluruhan kosa kata tersebut terkait dengan makna pemberian kabar gembira dan pemberian peringatan.
Dalam Al-Qur’ān sendiri penyebutan kata basyīr dan nadzīr terkadang digunakan untuk menyifati Al-Qur’ān (misal pada QS. Fushilat/41:3-4) atau para Nabi dan Rasul (misal pada QS. Al-Kahf/18:56) dan secara khusus untuk Nabi Muhammad SAW (misal pada QS. Al-Baqarah/2:119).
             •       
Artinya : “Dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyap kan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” (QS. Al-Kahf/18:56)


Akan tetapi memahami makna kosa kata-kosa kata tersebut sebagai yang berdiri sendiri tidaklah cukup untuk menghasilkan konsep dimaksud. Kosa kata basyīr dan nadzīr dengan segala derivasinya yang terkait harus juga dipahami dalam konteks (siyāq) kalimat ayat-ayatnya. Dan ayat-ayat itu sendiri juga harus dipahami dalam konteks asbab al-nuzūl-nya –meskipun nantinya akan dihasilkan ‘ibrah sesuai keumuman lafadznya–, serta konteks letak ayat-ayat tersebut dalam rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sesuai dengan ‘ilm al-Munāsabāt.
Dan tentu saja, sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, ayat-ayat yang tidak mengandung kosa kata baik basyīr maupun nadzīr dengan segala derivasinya, namun secara substantif berisi kabar gembira maupun ancaman (āyāt al-wa’d wa al-wa’īd) harus juga diperhitungkan dan dikaji secara komprehensif dan simultan untuk kemudian diraih maghzā dan petunjuk, serta prinsip-prinsip guna membangun konsep basyīr dan nadzīr dalam Al-Qur’an.
Dalam makalah ini, setelah mencoba memperhatikan “beberapa contoh” ayat-ayat dimaksud maka penulis dapat sampai kepada sejumlah kesimpulan sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.
1. Tabsyīr dan Indzār Merupakan Inti dan Tujuan Utama Risalah
Tabsyīr dan indzār merupakan inti dan tujuan utama risalah Sebagaimana ayat berikut:
                
Artinya : “Dan tidaklah Kami mengutus Para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan Mengadakan perbaikan, Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”( QS.Al-An’ām/6:48)
Menurut ayat QS.Al-An’ām/6:48 bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul adalah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah dengan jalan memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada mereka yang kufur kepada ayat-ayatNya. Al-Sa’dy secara lebih tegas menyatakan bahwa tabsyīr dan indzār merupakan inti (zubdat) pengiriman para Rasul. Demikian pula dengan tujuan diutusnya Rasulullah SAW sebagaimana dalam QS. Al-Furqān/25:56 dan QS. Saba’/34:28. Kesimpulan ini senada dengan ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa tugas para Rasul adalah menyampaikan risalah yang mereka terima dari Allah (tablīgh).
Jika tugas ini sudah terlaksana dengan baik, maka tidak ada lagi tanggung jawab Rasul terhadap orang-orang yang membangkang (QS. Al-Baqarah/2 :119)
           
Artinya:” Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Baqarah/2 :119)
Dan tidak ada lagi hak bagi orang-orang yang menolak kebenaran untuk berhujjah dihadapan Allah (QS. Al-Nisā/4 :165 dan QS. Al-Māidah/5 :19).
Pelajaran yang dapat diambil dari keterangan di atas, bahwa kewajiban para ulama dan du’āt sebagai penerus tugas Rasulullah r adalah berupaya menyampaikan semua ayat-ayat Allah baik berupa kabar gembira maupun peringatan selengkap-lengkapnya dengan tujuan agar ”agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. Memahami konsep ini juga mengharuskan para dai dan siapa saja yang bergerak di medan dakwah untuk mencari berbagai jalan dan upaya agar risalah Islam bisa tersebar seluas-luasnya dan informasi lengkap tentang berbagai aspek ajaran Islam dapat diakses oleh sebanyak mungkin manusia.
Jadi tujuan utama (ghāyah) da’wah sebenarnya bukanlah misalnya mendirikan negara Islam dll seperti digagas oleh gerakan dakwah atau aktivis dakwah tertentu.
2. Keserasian Konsep Tabsyīr dan Indzār dalam Al-Quran
Di dalam kitab suci Al-Qur’an, penyampaian pesan-pesan Allah dengan menggunakan pendekatan tabsyīr dan indzār atau antara targhīb dan tarhīb berjalan sangat serasi dan seimbang. Menukil pendapat Imam Al-Syāthiby (w.790H), beliau menegaskan bahwa setiap kali terdapat ayat tabsyīr atau targhīb atau ayat yang memberikan secercah pengharapan (tarjiyah) akan selalu beriringan dengan ayat indzār atau tarhīb atau ayat-ayat takhwīf (menakut-nakuti) baik datang pada ayat sebelumnya, ayat setelahnya, maupun pada satu ayat yang sama. Demikian juga sebaliknya.
Bahwa terkadang satu aspek lebih dominan dari aspek lainnya. Seperti dalam Surah Al-An’ām misalnya, ayat-ayat indzār tersebutkan secara beruntun. Hal itu disebabkan oleh konteks surat itu yang berbicara untuk menegaskan al-haqq, mengingkari perilaku orang-orang yang kufur kepada Allah dan orang-orang yang keras kepala. Meskipun demikian di sela-selanya terdapat ayat-ayat tabsyīr karena walau bagaimanapun keras dan kufurnya mereka, namun mereka tetap diharapkan untuk dapat diajak kepada kebenaran.
             •    •      
Artinya : “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”( QS. Al-Zumar/39:53)
Sementara itu pada lain kesempatan, seperti pada QS. Al-Zumar/39:53, sangat terasa sekali suasana penuh pengharapan tercipta begitu dominan.
Hal ini, sekali lagi menurut Al-Syāthiby, disesuaikan dengan prakondisi objek dakwah saat turunnya ayat tersebut, yaitu orang-orang dari kaum musyrik yang mengaku telah banyak membunuh dan berzina, kemudian mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan tujuan mendapatkan cara bertaubat dan menebus kesalahan-kesalahan mereka.
Jadi, prinsip keserasian dan keseimbangan antara tabsyīr dan indzār atau antara targhīb dan tarhīb dapat berubah sewaktu-waktu disesuaikan situasi dan kondisi, yang dalam cabang ‘ilmu al-ma’āniy disebut dengan muqtadla al-hāl (secara harfiah dapat diartikan sebagai “kebutuhan situasi dan kondisi”).
Kesimpulannya, kata Al-Syathīby, jika objek yang dihadapi Nabi SAW cenderung kuat pembangkangannya maka pendekatan indzār atau takhwīf lebih didahulukan seperti pada QS. Al-Ahzab:57. Adapun bagi orang-orang yang memiliki kekhawatiran terhadap dirinya (setelah mengakui kesalahannya) atau bahkan berpotensi untuk berputus asa maka pendekatan tabsyīr atau targhīb atau tarjiyah lebih didahulukan. Seperti pada QS. Al-Zumar:53 diatas.
Keseimbangan dan keserasian ini sangat sesuai dengan tabiat kejiwaan manusia yang memiliki rasa takut dan kekhawatiran akan sesuatu, sekaligus keinginan-keinginan untuk mendapatkan kesenangan atapun kebahagiaan. Dalam konteks perbuatan baik dan buruk manusia, seorang yang telah banyak berbuat dosa ketika mendengar ayat-ayat indzār akan timbul dalam dirinya rasa takut dari azab Allah. Kemudian mencoba mengevaluasi diri dan berusaha mencari jalan keselamatan . Dengan mendengar ayat-ayat tabsyīr ia melihat bahwa kesempatan masih terbuka lebar dan bersegera menuju jalan yang benar dan bertaubat dari dosanya.

Sementara itu, orang-orang salih dan beriman jika mendengar ayat-ayat tarhīb akan merasa takut melakukan maksiyat dan ketika mendengar ayat-ayat targhīb akan semakin mendorongnya untuk menambah ketaatan kepada Allah dan mengharap pahala disisiNya.
Ketidakseimbangan dalam konsep ini akan mengakibatkan hal-hal yang tidak dinginkan. Tabsyīr yang terlalu dominan tanpa memperhatikan prakondisi seseorang bisa mengantarkannya kepada sikap tawākul, meremehkan dosa dan kurangnya rasa takut. Sedangkan terlalu berat pada aspek tarhīb dapat menyebabkan seseorang menjadi berputus asa dan kehilangan harapan.
3. Benarkah Targhīb Harus didahulukan dari Tarhīb?
Sebagain aktivis dakwah meyakini bahwa dalam melakukan kegiatan dakwah pendekatan targhīb harus didahulukan dari pada tarhīb. Jum’ah Amīn Abd Al-‘Azīz, salah seorang tokoh gerakan Al-Ikhwān al-Muslimūn misalnya, menyatakan bahwa satu diantara sepuluh kaidah atau prinsip utama dakwah yang harus dimengerti dan dilakukan oleh para dai adalah prinsip al-targhīb qabla al-tarhīb aw al-bisyārah qabl al-nadzārah.
Diantara alasan yang digunakan oleh Jum’ah Amīn untuk mendukung pendapatnya adalah kisah sekelompok jin yang kembali dan berdakwah kepada kaumnya setelah mendengar tentang Al-Quran mereka dengan mengatakan,
“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Meskipun Jum’ah Amīn juga tidak menafikan prinsip tarhīb akan tetapi kesimpulannya mengenai keharusan didahulukannya targhīb sebelum tarhīb tidaklah tepat. Ketidak tepatan ini bisa dibuktikan dari sejarah dakwah Nabi r. Diantara wahyu yang pertama turun dan memerintahkan beliau untuk menyampaikan dakwahnya menggunakan istilah indzār, seperti pada QS. Al-Mudatsir/74:1-2 dan QS. Al-Syu’arā/26:214.
Bahkan beberapa hadits yang diriwayatkan terkait turunnya ayat QS. Al-Syu’arā/26:214 tersebut semakin memperkuat kesimpulan ini, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas bahwa ketika Allah menurunkan ayat { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ } Nabi r mendatangi bukit Shafa dan mengumpulkan manusia kemudian mengatakan “ Wahai Bani Abdul Muthalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay, akankah jika aku kabarkan kepada kalian bahwa seekor kuda di kaki bukit ini akan menyerang kalian, akankah kalian mempercayaiku? Mereka menjawab: Iya. Nabi r bersabda: Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya azab yang pedih… dst.
Untuk memahami persoalan ini dan jika ada pertanyaan yang barangkali muncul, mengapa Rasulullah r saat pertama kali diperintahkan menyampaikan dakwahnya menggunakan kata andzir (berilah peringatan) bukannya basysyir (berilah kabar gembira)? Jawabannya dapat ditelusuri melalui pembahasan tentang keserasian konsep basyīr dan nadzīr sebagaimana telah dijelaskan di atas.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Kajian terhadap terminologi-terminologi qur’ani – termasuk diantaranya terminologi basyīr dan nadzīr – adalah mutlak diperlukan sehingga dapat menghasilkan konsep-konsep yang benar dan utuh untuk kemudian “dibumikan” dalam berbagai kehidupan nyata. Konsep basyīr dan nadzīr sendiri menempati posisi cukup penting dalam Al-Qur’an dan mencakup kira-kira sepertiga jumlah keseluruhan ayat-ayat Al-Quran, sehingga penelitian lebih lanjut dan mendalam akan bernilai sangat berharga dalam memahami konsep ini secara komperehensif.
Konsep basyīr dan nadzīr merupakan inti dari dakwah para Rasul yang harus diteladani oleh para da’i dan pendidik muslim dengan memperhatikan keserasian antara dua aspek yang terkandung didalamnya sehingga mampu menjawab kebutuhan jiwa para objek dakwah.






DAFTAR PUSTAKA

‘Abd Al-‘Azīz, Jum’ah Amīn, Al-Da’wah: Qawā’id wa Ushūl, (Alexandria, Dār al-Da’wah, Cet. IV, 1415H/1999)
Al-Rāghib Al-Asfahāni, Abū al-Qāsim, Al-Husayn ibn Muhamad ibn Al-Mufadlal, Mufradāt Alfādh al-Qur’ān, (Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13).
Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir ibn, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, (Beirut, Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H),
Al-Syāthiby, Ibrāhīm ibn Mūsa ibn Muhammad Al-Lakhamy Al-Gharnāthy, Al-Muwāfaqāt, Tahqiq: Abū Ubaydah Masyhūr ibn Hasan Aāl Salmān, (tt, Dār Ibn ‘Affān, Cet. I, 1417H/1997)
Al-Thabari, Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghalib Al-Amili, Abu Ja’far, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Al-Qur’ān, (Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000)
Al-Zarkasyi, Badr al-Dīn Muhamad ibn ‘Abdullāh ibn Bahādur, Al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, Tahqiq: Muhamad Abū al-Fadhl Ibrāhīm, (Beirut, Dār al-Ma’rifah,tt)
Al-Zirikliy, Khair al-Dīn, Al-A’lām (Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet.5, 1980)
Ibn ‘Āsyūr, Muhamad ibn Thāhir, Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Dār Sahnūn, 1997)
Ibn Fāris ibn Zakariyā, Abū al-Husayn Ahmad, Maqāyīs al-Lughah, Tahqiq: Abd al-Salām Muhamad Hārūn, (Beirut, Dār Al-Fikr, 1979M/1399H)
Ibn Katsīr, Al-Qurasyi al-Dimasyqy, Abū al-Fidā Ismā’īl ibn ‘Umar, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Sāmy ibn Muhamad Salāmah, (Dār Thybah li al-Nasyr wa al-Tauzī’, Cet. II, 1420H/1999M)
Ibn Mandhūr, al-Ifrīqiy al-Mishriy, Muhammad ibn Mukrim, Lisān al-‘Arab, (Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13)
Khidlr, Muhammad Zaky Muhamad, Mu’jam Kalimāt al-Qur’ān al-Karīm, (Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13)
Zaydān, Dr. Abd Al-Karīm, Ushūl al-Da’wah, (naskah dalam bentuk ebook PDF diambil dari www.daawa-info.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar