Rabu, 10 Juni 2009

KONSEP MA'IYAH (KEBERSAMAAN) DALAM AL-QUR'AN ;SEBUAH LATIHAN TAFSIR TEMATIK

KONSEP MA'IYAH (KEBERSAMAAN) DALAM AL-QUR'AN ;SEBUAH LATIHAN TAFSIR TEMATIK
(OLEH: ABDUL ZEN DAN AHMAD FAOZAN AL-AMIN CILACAP)
BAB I
PENDAHULUAN

Ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara sesamanya.
Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarahnya, bangunan kebersamaan ini seringkali terganggu oleh godaan-godaan kepentingan yang dapat merusak keutuhan komunikasi dan bahkan mengundang sikap dan prilaku yang saling berseberangan.
Karena itu, semangat ukhuwah ini secara sederhana dapat terlihat dari ada atau tidak adanya sikap saling memahami untuk menumbuhkan interaksi dan komunikasi. Ukhuwah Islamiyah sendiri menunjukkan jalan yang dapat ditempuh untuk membangun komunikasi di satu sisi, dan di sisi lain, ia juga memberikan semangat baru untuk sekaligus melaksanakan ajaran sesuai dengan petunjuk al-Qur'an serta teladan dari para Nabi dan Rasul-Nya.
Sekurang-sekurangnya ada dua pernyataan Nabi SAW, yang menggambarkan persaudaraan yang Islami. Pertama, persaudaraan Islam itu mengisyaratkan wujud tertentu yang dipersonifikasikan ke dalam sosok jasad yang utuh, yang apabila salah satu dari anggota badan itu sakit, maka anggota lainnya pun turut merasakan sakit. Kedua, persaudaraan Islam itu juga mengilustrasikan wujud bangunan yang kuat, yang antara masing-masing unsur dalam bangunan tersebut saling memberikan fungsi untuk memperkuat dan memperkokoh.
Oleh Karena itu, maka kiranya sangat penting untuk membahas tentang konsep kebersaan dalam Al-Qur’an. Karena kebersaan bersifat horizontal (ukuwah binnash) dan vertical ( ukuwah billah). Untuk memperjelas dan mendalami permasalah di atas maka kami membuat makalah ini dengan judul Konsep kebersamaan dalam Al-Qur’an. Tidak perlu berpanjang lebar dalam berkata-kata marilah kita telaah bersama bagaimana konsep kebersamaan dalam Al-Qur’an. Selamat membaca!
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebersamaan
                                       
Artinya :"Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadiid: 4]
Pengertian “Allah bersamamu,” bukanlah berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala bersatu, bercampur atau bergabung dengan makhluk-Nya, karena hal ini tidak dibenarkan secara bahasa serta menyalahi ijma’ Salafush Shalih, dan hal ini bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan bulan sebagai satu tanda dari tanda-tanda (kebesaran dan ketinggian) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil yang terletak di langit, ia (bulan) dikatakan bersama musafir di mana saja musafir itu berada meskipun ia berada di ketinggian sana.
Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah tetap mengawasi makhluk-Nya, mengamati (gerak-gerik) mereka, serta mengintai (memperhatikan) perbuatan mereka.
Termasuk dalam hal ini adalah mengimani bahwa Allah itu dekat dan Dia mengabulkan (setiap do’a hamba-Nya).
Akan tetapi kebersamaan antar manusia atau manusia membentuk team kelompok itu lain dengan pengertian di atas . Pendekatan bersama adalah cara para anggota team menyepakati bagaimana mereka akan kerja dalam satu kesatuan. Biasanya sebuahteam akan menetapkan aturan main tertentu yang menggaris-bawahiperilaku-perilaku yang diharapkan dari para anggotanya agar dapatbergerak bersama dalam irama dan semangat tertentu.Kebersamaan tanggung jawab adalah aspek terakhir dalam kerjasamateam harus dikembangkan, yakni berbagi tanggung jawab dan rasakepemilikan terhadap hasil yang dicapai.

B. Kebersamaan Manusia dengan Allah
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
  •                                           •     
Artinya : "Dan tidaklah terjadi pembicaraan yang rahasia antara tiga orang, melainkan Allah yang keempatnya, dan tidak terjadi pembicaraan antara lima orang, melainkan Allah yang keenamnya, dan tidak pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada...” [Al-Mujaadilah: 7]
Konsep ma’iyyah antara Allah dengan manusia (makhluk) itu ada Dua Macam yaitu:
Pertama: Ma‘iyyah Khusus.
Yaitu kebersamaan Allah dengan sebagian makhluk-Nya yang kita tidak tahu tentang kaifiyatnya, kecuali Allah, seperti seluruh Sifat-Sifat-Nya. Ma’iyyah ini mengandung makna bahwa Allah meliputi hamba-Nya yang dicintai, menolongnya, memberikan taufiq, menjaganya dari kebinasaan dan lainnya sebagaimana diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan berbuat baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
•    • •   
Artinya : "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” [An-Nahl: 128]

Kedua: Ma‘iyyah Umum.
Yaitu kebersamaan Allah dengan seluruh makhluk-Nya, di mana Allah mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dan Allah mengetahui semua keadaan mereka, mengetahui tindak-tanduk mereka yang lahir maupun bathin, dan yang seperti ini tidak berarti Allah bersatu dengan hamba-Nya, karena Allah tidak dapat diqiyaskan dengan hamba-Nya.
Dan tingginya Allah di atas makhluk-Nya tidak menafikan (meniadakan) kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya, berbeda dengan makhluk-Nya, karena keberadaan makhluk di satu tempat (arah), pasti dia tidak tahu tempat (arah) yang lainnya. Allah tidak sama dengan sesuatu apa pun karena kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.
Termasuk dalam hal ini adalah mengimani bahwa Allah itu dekat dan Dia mengabulkan (setiap do’a hamba-Nya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
                   
Artinya :"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a kepada-Ku.” [Al-Baqarah: 186]
Apa yang telah dituturkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, bahwa Allah dekat dan bersama makhluk-Nya, tidaklah bertentangan dengan yang Allah firmankan, bahwa Allah Maha Tinggi dan bersemayam di atas ‘Arsy, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala Sifat-Sifat-Nya. Dia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, tetapi dekat dalam ketinggian-Nya.
Hal ini disebutkan dalam sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"... Sesungguhnya Allah Yang engkau berdo’a kepada-Nya, lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada leher binatang tunggangannya.”
                                              
Artinya : “ Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Surah At-Taubah: 40)
Benar bagai dikata, bahwa merasai diingati oleh Allah SWT adalah nilai kebahagiaan abadi. Apalah nilai ingatan kita terhadapNya berbanding ingatanNya terhadap kita. Dengan melihat ingatanNya kepada kita, niscaya akan rasa kebersamaanNya dalam setiap kehidupan kita. Inilah penenang jiwa abadi.
Maka Sang Kekasih Sebaik-baik Pencinta, yang tidak pernah membiarkan para kekasihNya terus berduka, terus menzahirkan nilai cintaNya yang Agung nan Mulia seraya berfirman (dalam Surah Ad-Dhuha):
“Tuhanmu (Hai Muhammad) tidak pernah membiarkanmu dan tidak pernah membenci…”
Sang Kekasih terus memujuk kekasihNya yang tulus dalam cinta, agar terus memupuk kehadiran dan kebersamaan Sang Kekasih Agung dalam jiwa. Itulah sebaik-baik penawar dalam jiwa, bagi menghadapi dunia yang penuh gelora. Rasulullah SAW dipujuk dengan mengingatkan bahwasanya diri Baginda SAW sentiasa dalam ingatan Tuhan segala kejadian.
Inilah kekuatan abadi, yang menjadikan Rasulullah SAW terus tenang dan bahagia dalam menghadapi hidup yang mengajar seribu satu erti. Akhirnya kekuatan ini turut Rasulullah SAW kongsi, kepada teman karibnya di dunia dan di akhirat nanti, iaitulah Saidina Abu Bakar r.a. yang merupakan seorang sahabat sejati.
Ingatlah ketika mereka berdua di dalam gua, tatkala orang-orang kafir mula mencari-cari mereka, maka Saidina Abu Bakar r.a. mula terasa takut dan gundah-gulana. Bukan kerana dirinya, tetapi kerana insan kekasih seluruh semesta (Rasulullah SAW). Ketika itulah Rasulullah SAW mengajarkan hakikat kebahagiaan di dunia, yang akann membawa seseorang bahagia sehingga ke syurga, iaitulah merasai kebersamaan Allah SWTsetiap masa. Sabda Rasulullah SAW yang bermakna:
“Jangan kamu sangka kita berdua, sedangkan Allahlah yang ketiga, bersama-sama kita yang kamu sangka sekadar berdua”.
Peristiwa ini diabadikan di dalam Al-Qur’an. Ia menjadi saksi keagungan rasa kebersamaan dengan Tuhan. Firman Allah SWTdalam menggambarkan ungkapan Rasulullah SAW kepada Saidina Abu Bakar r.a.:-
“…di waktu baginda berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya…” (Surah At-Taubah: 40)
Alangkah bahagianya bersama Baginda SAW, yang sentiasa merasai kebersamaan Tuhan Sang Pencinta, lalu mengajar kita erti kebersamaan Tuhan dalam hidup kita. Inilah kekuatan kerohanian sebenarnya. Inilah ketenangan pada hakikatnya. Apabila hatimu merasai kebersamaan Allah s.w.t., maka betapa lapangnya hidupmu. Inilah kunci menikmati hidupmu. Semoga Allah SWTmenganugerahkan rasa kebersamaan Allah SWTdalam hati kita.

C. Kebersamaan Manusia dengan Manusia
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula.
Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami.



Di antaranya beliau berkata:

...عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ

“…Wajib atas kalian untuk bersama dengan al-jamaah dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, maka dia adalah seorang mukmin.” Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya mati jahiliah.”
Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah dan sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan: Al-Jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab). Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
  •                    
“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” selain Islam, Al-Qur`an dan As-Sunnah, adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah! Apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.”
Tidak ada pertentangan antara tafsir tersebut dengan tafsir yang lainnya. Karena ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar berpegang dengan ajaran Islam, dengan dasar Al-Qur`an dan As-Sunnah serta tetap bersama jamaah kaum muslimin dan penguasanya, agar tidak berpecah belah. Jika keluar dari salah satunya maka akan terjatuh dalam perpecahan. Sehingga, semuanya sama-sama merupakan tali Allah yang sangat kuat, yang mengikat mereka dalam kebersamaan.
Nikmatnya kebersamaan dalam satu jamaah dengan satu kepemimpinan telah dirasakan sejak zaman para shahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Maka ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa –seperti yang dikatakan oleh kaum Syi’ah– tetapi karena mereka faham betul betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan.
Tentunya kepemimpinan tanpa ketaatan adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menaati seorang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan sebagai penguasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُم

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah/penguasa di kalangan kalian.” (An-Nisa`: 59)
Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaati penguasa di atas adalah dalam rangka menjaga kebersamaan dalam jamaah dan tidak bercerai berai.
Oleh karena itu, perintah tersebut tidak gugur dengan kezhaliman penguasa tersebut atau kekurangan-kekurangan dalam hal fisiknya. Karena hikmah dalam kebersamaan lebih besar daripada kezhaliman penguasa tersebut.

D. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
       •    
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”.
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
                            •   •    
Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Konsep ma’iyah dalam Al-Qur’an ternyata terdapat dua macam yaitu ma’iyah antara Allah dengan manusia (makhluknya) dan ma’iyah antara manusia dengan manusia. Konsep ma’iyyah antara Allah dengan manusia (makhluk) itu ada Dua Macam ma’iyah umum dan khusus.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya.












DAFTAR PUSTAKA

Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M
At-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 63-66) oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syarah ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 167) oleh Khalil Hirras.
HR. Al-Bukhari (no. 2992, 4202, 6384, 6409, 6610), Muslim (no. 2704 (46)) dan Ahmad dalam Musnadnya (IV/402), dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu. Lafazh hadits ini milik Ahmad. unnah
Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi, Mesir, cet. II. At-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”; juga Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Al-Musnad 1/18 cet. Al-Maktabul Islami Beirut. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam Syarhul Musnad 1/112 cet. Darul Ma’arif, Mesir.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu dalam As-Sunnah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami Beirut cet. III,
Dari jalan Muhammad bin Suqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar HR. Muslim dalam Shahih-nya

Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I, dari jalan Ghailan bin Jarir, dari Abu Qais bin Rabah, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri rahimahullahu, hal. 23-24, cet. Darus Salam, Riyadh cet. I
Dr. M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar