Jumat, 19 Juni 2009

internet di lingkungan pesantren (abdul zen alfonso)

INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN





Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Nur Fuadi, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Dhiyah Rachmatika (072331047)
Dian Puspaningsih (072331048)
Didi Wibiseno (072331049)
Duriyah (072331050)
Dwi Setyowati (072331051)
Diyah Nurmanita S (072331052) Ekawati (072331053)
Endah Iriany (072331054)
Endro Suharyono (072331055)
Era Wahyu Esti F (072331056)
Esti Fitria (072331057)
Smt/Prodi :4/PAI-2
Jurusan : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2009
BAB I
PENDAHULUAN

Puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Kepada keluarganya, para sahabatnya, tabiin, sampai kita sebagai umatnya. Aamiin…
Pesantren menduduki peran yang sangat signifikan, dimana kiprah para ulama dalam hal ini menjadi tak terelakkan dalam sejarah pendidikan Islam di tanah air. Hal tersebut seiring dengan nilai perjuangan yang terus didengungkan para pounding father bangsa Indonesia.
Sebagai sebuah refleksi, pembicaraan tentang pesantren ini menjadi keniscayaan bagi setiap kita yang berkiprah di dalamnya, setidaknya dapat menjadi tambahan khazanah intelektual dari bangsa ini dan generasi penerus.
informasi terjadi globalisasi pada perkembangan mutakhir teknologi
internet di dalamnya telah secara revolusioner pada tatanan sosial
dan budaya dalam skala dunia. Pemahaman konvensional
tentang 'masyarakat', 'komunitas', 'interaksi sosial',
serta 'budaya' mendapatkan satu tantangan besar dengan telah
memasyarakatnya teknologi informasi tersebut.
Realitas-realitas sosial-budaya yang ada mendapatkan tandingan-
tandingan, yang pada akhirnya mengaburkan batas di antara
keduanya. 'Internet' sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan
informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk 'komunitas'
sendiri (virtual community), bentuk 'realitas'-nya sendiri (virtual
reality) dan bentuk 'ruang'-nya sendiri (cyberspace).
Disisi lain ada sebuah komunitas yang belum mampu untuk berubah yaitu
pesantren. Komunitas pesantren kenapa sangat sulit untuk menerima
perkembangan tehnologi informasi, alasan yang utama adalah para kyai
atau ulama yang takut kehilangan otoritasnya. sehingga penolakkan itu
menjadi sebuah penolakkan teologis. Dari sini pertanyaan besar
kemudian muncul sampai kapan komunitas ini akan terus bertahan
seperti itu ditengah globalisasi yang sedang mengelilingi kita?? Dan
bagaimana strategi yang tepat untuk menggapai kemajuan umat Islam
dimasa depan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi??
Dari sini menarik sekali kiranya membahas masalah tentang internet di lingkungan pesantren. Bagaimanakah internet bisa masuk kedalah pesantren? ditolak mentah-mentahkah ataukah diterima dengan lapang dada?
Penulis ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa yang memberikan masukkan saat perkuliahan bagi sempurnanya tulisan ini. Tak lupa terima kasih pula kepada anda sidang pembaca yang sudi membaca karya sederhana ini ini.











BAB II
INTERNET DI LINGKUNGAN PESANTREN

1. Pengertian dan Eksistensi Pondok Pesantren dalam Rekaman Sejarah
Pondok Pesantren merupakan lembaga studi Islam yang punya andil historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Maka wajarlah apabila banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal; dan meskipun ada hanya dapat diikuti oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena adanya tuntutan dari umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Menurut data Departemen Agama, pada tahun 1948-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Namun keterangan ini kurang meyakinkan, karena apabila ada pesantren Jan Tampes II maka ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Ada pula yang mencatat bahwa pondok pesantren muncul sejak munculnya masyaraka Islam di Nusantara pada abad XIII.
Seiring dengan perjalanan waktu, pendidikan pondok pesantren mengalami perkembangan. Lembaga ini semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "Politik Etis" pemerintah kolonial Belanda pada akahir abad XIX. Sikap non-koperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda inilah pondok pesantren mendapat tekanan yang cukup berat.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam, khusunya pesantren, karena berarti tidak ada lagi tekanan dari penjajah asing untuk menjalankan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Pada masa ini pesantren mulai menata diri dan memapankan posisinya sebagai lembaga pendidikan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid sebenarnya sejak tahun 1920-an Pondok Pesantren telah mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan pesantren sendiri. Kemudian pada tahun 1930-an, pondok pesantren sudah memperlihatkan kurikulum. Puncaknya kemapanan sekolah agama negeri di lingkungan pondok pesantren terjadi sekitar 1960-an meski saat itu juga terjadi percobaan isolasi di berbagai pondok pesantren, terutama menjelang G 30 S/PKI.
Memasuki era 1970-an pondok pesantren mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan dan perkembangan ini bisi dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan bahwa pada tahun 1977 jumlah pondok pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Kemudian pada tahun 1985 jumlah ini meningkat cukup drastis di mana jumlah pondok pesantren mencapai 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai 1.084.801 orang. Pada tahun 1997, jumlah ini melonjak menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.770.768 orang. Pada tahun 2001 jumlah pondok pesantren terus meningkat mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri 2.737.805 orang.
Perkembangan kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: pertama, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat, pondok pesantren yang hanya menjadi tempat melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, jelas bahwa pondok pesantren tidak hanya bisa bertahan, akan tetapi juga berkembang dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Dalam mengembangkan pola pendidikan dan mentransformasikan diri menjadi lembaga pendidikan modern, tampaknya pondok pesantren tidak tergesa-gesa dan cukup berhati-hati. Hal ini terlihat dari penerimaan dan penyesuaian pola pendidikan yang hanya dalam skala yang sangat terbatas pada hal-hal yang mendukung komunitas pesantren itu sendiri. Azyumardi Azra berpendapat bahwa pesantren pada mulanya hanya rural-based institution yang kemudian menjadi lembaga pendidikan urban, yaitu munculnya sejumlah pondok pesantren di kota-kota.
Ketika gerbang reformasi dibuka, peran dan kiprah pesantren semakin diperhitungkan dalam berbagai bidang. Dari bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga sosial. Dalam bidang politik misalnya, pesantren dilirik oleh kalangan elit politik sebagai aset yang dapat menjadi penunjang tujuan politik. Sentralitas kepemimpinan Kiai dan banyaknya massa sang Kiai membuat pondok pesantren sering didekati dan dimanfaatkan oleh kalangan elit politik.

2. Positif dan Negatif Internet
Internet ibaratnya suatu gajah yang ingin coba dikenali karena kabar manfaat dan kemasyalatannya. Sebut saja, yang populer dewasa di masyarakat adalah pandangan bahwa internet bisa diidentikkan dengan pornografi. Mungkin saja set of mind yang terangkat kepermukaan akhir-akhir ini adalah “Kalau mau cari yang porno ada di Internet”. Bahkan yang lebih parah lagi adalah internet=pornografi. Pandangan demikian tentu saja memberikan dampak kepada masyarakat dan menutupi apa yang sebenarnya bisa dilakukan dengan Internet.
Internet, sebagai suatu infrastruktur awalnya adalah infrastruktur telekomunikasi yang dikembangkan oleh para empu teknologi komputer dan telekomunikasi dari ruang dan garasi riset di Amerika Serikat di sekitar akhir dasawarsa 60-an. Kemudian, Dephankam AS melalui program ARPA mendanai pengembangan lebih lanjut riset-riset tersebut sebagai suatu alternatif sistem telekomunikasi untuk mengantisipasi serangan nuklir.
Internet pada akhirnya adalah produk teknologi perang dingin yang kemudian (kembali) dielobrasi lebih jauh untuk kepentingan sipil. Peranannya yang semakin signifikan kemudian tidak menjadikannya sebagai sarana telekomunikasi saja. Namun berkembang lebih jauh memenuhi dan menciptakan berbagai kebutuhan masyarakat modern mulai dari pengiriman surel yang sangat praktis, efisien dan murah, forum diskusi, media online, sarana jual beli dan juga sarana untuk menampilkan semangat spiritualisme.
Sampai sekarang, walaupun Amerika Serikat bisa dianggap sebagai pemrakarsa teknologi Internet, tidak ada satu pun negara atau entitas yang berhak mengakui kepemilikan infrastruktur Internet. Internet pada akhirnya berkembang demikian pesat tanpa pemilikan dan sangat terbuka. Siapapun yang mau memanfaatkan dan berkiprah untuk memanfaatkan Internet tidak ada yang melarang. Namun disinilah kemudian masalahnya muncul. Dengan keterbukaannya ini, Internet berkembang menjadi suatu sarana, suatu media baru dimana \\\"The Good, The Bad & The Ugly\\\" cuma dipisahkan oleh satu klik tetikus (mouse) pemakainya; Dimana mudharat dan manfaat sama-sama tampil sejajar; Dimana pornografi dan sopan santun bisa saling berselisih atau tampil bersamaan. Internet menjadi suatu medium yang multiintepretasi dan menjadi sarana anonimitas yang terbuka.

3. Pesantren Harus Beradaptasi dengan Globalisasi
Kelahiran pondok pesantren adalah karena adanya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Karena lahir dari tuntutan umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekita r.
Harus diakui bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren sudah melekat dalam kehidupan di Indonesia serta merupakan kreasi budaya Indonesia. Pondok pesantren adalah aset pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini agak terabaikan. Selama ini, pondok pesantren cenderung dibiarkan berjalan sendiri, dan kurang begitu diakomodir dalam sistem pendidikan nasional, padahal sumbangan yang diberikan oleh pesantren terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangatlah besar. Karakter khas pondok pesantren yang merakyat, merupakan potensi yang seharusnya diperhatikan dan diberdayakan secara berkelanjutan dan terprogram.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini, ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dan berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Arus globalisasi yang kian hari semakin deras tidak menggoyahkan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan pokok bagi semua civitas dan warga pesantren. Bahkan tatanan moral yang dipegangi inilah yang membuat ia semakin eksis. Nilai-nilai moral tersebut menjadi pegangan dan acuan dalam segala aktifitas dan menjadi titik pokok sistem pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Pendidikan pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam banyak perspektif, pendidikan di pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa dibaca sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren mampu memberi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sini, pesantren mendidik santri kehidupan praktis di masyarakat tentang bagaimana mereka menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. selain itu sistem pendidikannya juga dapat dengan mudah menyesuaikan dengan sistem pendidikan formal dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengapdosian sistem pendidikan umum yang merupakan proses timbal balik antara pola pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan "umum" yang ada di luar pesantren. Meskipun menurut Nurcholish Madjid pesantren tidak mengenal istilah kurikulum, terutama pada masa prakemerdekaan, tapi pesantren telah memberikan materi pendidikan yang cukup terprogram dan bahkan memberikan materi keterampilan.
Memang harus diakui, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum, karena tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Namun demikian pesantren terbukti telah mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, sekarang merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya perlente, menulis menggunakan komputer, dan tidur di gedung-gedung yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota.” Bahkan, santri yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi mempunyai potensi intelektualitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan santri, khususnya yang telah berpendidikan tinggi, ikut aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan.
Berdasarkan catatan di atas, tidak mengherankan jika pesantren telah banyak melahirkan intelektual atau cendekiawan yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Nama-nama seperti Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Fakih Usman, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi lainnya adalah tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh ini menurut Dawam Rahardjo disebut sebagai kiai intelektual atau ulama cendekiawan.
Ketika wacana Islam liberal mengemuka, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam. Tidak jarang pemikiran-pemikiran yang progresif dan di luar pemikiran mainstream muncul dari pesantren. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang lebih berani dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan memperkaya literatur-literatur mereka dengan wacana Islam kontemporer seperti Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya.
Dampak negatif globalisasi sejatinya dapat diimbangi oleh pesantren dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses informasi yang ditawarkan untuk menunjang proses pembelajaran dan memperluas jaringan dakwah. Komputer, internet, dan alat-alat modern sudah dapat dijumpai di pondok-pondok pesantren. Para santri di beberapa pesantren juga telah mengikuti pelatihan teknologi informasi untuk menambah wawasan agar mereka tidak gagap teknologi. Pelatihan ini didukung penuh oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan harian umum Republika yang diluncurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kalangan pesantren yang bertajuk ‘Santri Indigo’. Kegiatan ini bertujuan agar para santri tidak gagap teknologi (gatek) internet. Kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan santri-santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahmi dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pendidikan pesantren modern tidak boleh mengesampingkan pendidikan teknologi. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental. Untuk itulah pendidikan semacam SMK didirikan di pesantren. Suatu usaha untuk mencetak tenaga profesional di bidang IT tetapi berakhlaq santri. Bahkan sudah ada pesantren yang menjadi mitra penyelenggara Program Pendidikan Jarak Jauh berbasis Internet dari sebuah institusi di Jakarta. Untuk menindaklanjuti program tersebut, diselengarakan workshop yang bertema “Workshop Needs Assessment for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren” yang dilanjutkan dengan “Curriculum Workshop for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren”. Arahnya memetakan kondisi di pesantren berkaitan dengan pelaksanaan program dan perancangan kurikulum untuk melaksanakan program-program tersebut.
Santri pesantren diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.

4. Internet bagi Pesantren
Internet adalah keajaiban masa kini. Tidak bisa dihindari, ke depan, para santri akan hidup pada situasi yang, mungkin, tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Situasi di mana dunia yang sangat luas ini telah disatukan. Batas geografis sudah tidak ada artinya. Informasi dari satu ujung dunia bisa serta merta diketahui oleh mereka yang berada pada ujung dunia lainnya pada waktu yang bersamaan. Dunia telah menjadi begitu kecil
Adalah internet yang membawa segala keajaiban itu. Para santri akan hidup di mana internet akan menjadi sebuah keniscayaan dalam budaya dan peradaban hidup masyarakat. Berupaya menafikan keberadaannya hanya akan mendatangkan kesia-siaan dan hanya akan menempatkan kita menjadi sekelompok orang-orang yang terasing di tengah-tengah hiruk pikuk dunia.
Internet adalah pisau bermata dua. Ia dapat mendatangkan manfaat begitu besar dalam hidup kita sampai batas yang tidak bisa kita perkirakan. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ia pun bisa menjadi mesin giling yang akan menghacurkan tanpa ampun moralitas kita sebagai santri: sekelompok manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai transenden. Banyak hal yang menyebabkan kenapa Pesantren terkesan menutup diri. Mulai dari gaya hidup ‘uzlah’ yang dipilih, pendidikan ala protective boarding school yang sengaja dibentuk, atau bahkan karena ada jarak antara dunia pesantren yang kental dengan independensi dan kewirausahaan dengan pihak yang berkuasa (pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan)
Pengasuh pesantren pun harus mulai merubah sikap dan tradisi mereka. Tidak ada lagi budaya “Kyai selalu benar” dan bersih dari kritikan. Akuntabilitas pengelolaan pesantren pun menjadi komoditas yang harus siap di sharing dengan para stake holders. Hal ini terutama terjadi di beberapa Pesantren yang menerapkan manajemen modern dalam pengelolaannya, seperti contohnya. Sepertinya, halangan terbesar dari budaya modern, termasuk keterbukaan dan kebebasan Informasi adalah budaya tradisional pesantren itu sendiri. Benturan budaya inilah yang menjadi tantangan dunia pesantren itu sendiri. Sampai mana batas-batas kebebasan menyampaikan informasi? Bagaimana menggabungkan budaya uwuh pakewuh yang kental di dunia pesantren dengan budaya blogging yang mengagungkan kebebasan berpendapat ? Sejauh mana batas-batas privasi yang bisa di akses oleh public ?
Terlepas dari itu semua, internet dan blogging bisa menjadi alternatif yang menarik untuk bisa menjawab tantangan Pondok Pesantren.
Blogging bisa menjadi pilihan menarik untuk dalam hal keterbukaan sehingga tidak saja menghilangkan tuduhan miring dan kecurigaan yang tidak beralasan dari beberapa pihak, terutama terkait dengan isu Islam radikal, Islam Fundamental, Islam Liberal sampai juga hal yang menyangkut terorisme.
Blogging pun bisa menjadi tools of education yang efektif, terutama dalam mengembangkan kualitas pendidik dan juga anak didik. Seperti yang kita tahu, internet dan tetek bengeknya adalah hal yang lazim diketahui oleh generasi kedepan untuk bisa bersaing. Dan blogging adalah salah satu tools yang paling menarik karena bisa melatih kemampuan menulis, berfikir kritis, berargumentasi dan bersikap terbuka.
Lebih jauh, blogging, jika diseriuskan, bisa menjadi lumbung penghasilan tambahan untuk para asatidz, guru, pendidik maupun santri dengan hanya bermodalkan sedikit sentuhan kreativitas. Dan tentunya, ini secara tidak langsung akan membantu dunia pendidikan secara keseluruhan, tidak terkecuali Pesantren dan meringankan beban pemerintah.
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi kesempatan yang sama dengan dunia pendidikan umum kepada dunia pesantren didalam meningkatkan kemampuan mengelola Teknologi Informasi sehingga keterbukaan menjadi hal yang lazim di lingkungan itu.
Selain dari hal positif dan negatifnya kehadiran Blog di kalangan Pesantren, kegiatan “ngeblog” di kalangan santri dan para ustadz merupakan hal yang sangat menarik.
Ketertarikan itu sering kali disikapi dengan dengan sikap “pesimis” oleh mayoritas kalangan Pesantren, khususnya pesantren yang jauh dari jangkauan “koneksi internet”. Perlu diketahui, bahwa 14,000 Pondok Pesantren di Indonesia (data Dep. Agama 2007), 90%nya berada di daerah terpencil dan sulit dijangkau “koneksi internet”. Contohnya, tidak perlu jauh-jauh. Pesantren Al-Mansur Cabang ke 3 Darunnajah 17Km dari Kota Serang, baru dapat saluran telepon tahun 2004, dan hingga kini belum dapat mengakses Internet dari Pemerintah (Telkom;speedy). Apalagi pesantren-pesantren dengan jutaan santri, sangat menunggu koneksi yang baik untuk mendorong peningkatan sumber daya manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa internet baru dilegalkan bagi pesantren yang aliran pesantrenya adalah pesantren modern. Sedangkan pesantren yang salafiyah masih menutup diri pada internet karena takut dengan isu-isu negative dalam internet tersebut.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Internet adalah teknologi global yang tidak kenal dengan ruang jarak dan waktu, dapat menembus fektor-fektor negara sehingga tidak ada sekat lagi di dalamnya. Segala informasi ada di dalamnya, baik informasi positif dan juga informasi negative. Dalam hal ini pemakai internet dihadapkan pada pilihan dan tantangan dalam untuk memilah dan memilih informasi yang berguna. Oleh karena itu, filter terhadap informasi itu sangat diperluakan.
Tidak ubahnya dengan pesantren yang menghadapi tantangan globalisasi, mau atau tidak mau kalo tidak ingin ketinggalan informasi maka harus beradaptsi dengan teknologi modern di masa globalisasi ini seperti internet.
Internet di umpanakan sebagai pisau bermata dua yang memiliki nilai positif atau negative tergantung pada pemanfaatan si pemakai. Pondok pesantren menurut makalah di atas sangat sedikit sekali yang telah menggunakan fasilitas internet, yang menggunakan fasilitas ini adalah pondok pesentren yang beraliran modern.





DAFTAR PUSTAKA

Azizy, Ahmad Qodi. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif: agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
http://www.daarululuum.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96:pesantren-dan-internet&catid=62:artikel&Itemid=389 oleh Imam Mustofa
http://sofwan-manaf.com/tag/blog-pesantren oleh Sofwan manaf
Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo: Era Intermedia.
Mas'ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Mashhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Wahid, Abdurrahman, dalam Prolog Buku Pondok Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar