Kamis, 18 Juni 2009

KEBUDAYAAN ISLAM SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GLOBAL

Abdul zen;
KEBUDAYAAN ISLAM SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GLOBAL





Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Jonkenedi, M.Pd.I.

Disusun Oleh :
Nama : Siti Nur Khalifah
NIM : 082332018
Smt/Prodi : II/PBA
Jurusan : Tarbiyah

DEPARTEMEN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2009

KEBUDAYAAN ISLAM SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN DI ERA GLOBAL

Ada sebuah ungkapan “Limadha ta’akhara al muslimun wataqaddamma ghayrhum ?Li anna a’malana a’malahum wa a’malahum a’malauna”.( Mengapa masyarakat muslim terbelakang. Sedangkan masyarakat non-muslim maju?Jawabannya, Sebab, kita mempraktekan ajaran mereka, sedangkan mereka mempraktekan ajaran agama kita). Sebenarnya saya tidak setuju dengan ungkapan itu. Namun ungkapan itu dapati kita jadikan pelajaran sebagai bukti terjadinya kesenjangan antara ajaran Islam dengan praktek umatnya. Kondisi terbelakang ini semakin Nampak jelas jika negara Indonesia kita jadikan contoh, dimana kita bisa merasakan dan melihat sendiri bagaimana keadaan di negeri tercinta ini dalam segala bidang.
Masa globalisasi ini dapati kita lihat dengan tanda, di antaranya kemajuan IPTEK, semakin besar matrealisme, kompetisi global dan bebas. Tapi sebelum kita membicarakan masa global lebih jauh, kita harus terlebih dahulu membicarakan masa atau abad modernisasi.
Arnold J Toynbee berkatan bahwa kejadian yang besar di abad 20 adalah pengaruh kuat peradaban Barat terhadap semua masyarakat di dunia. Pada abad ke-19 dan ke-20 Negara-negara Eropa mendominasi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara Islam. Faktor-faktor yang mempengaruhi negara Eropa mendominasi dunia atau kemajuan yang mereka peroleh dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistem perekonomian.
Setelah selesai Perang Dunia II, Barat, terutama Amerika Serikat, menjajah dunia dengan cara halus, keadaan ekonomi di dunia di buat sedemikian rupa, sehingga terjadi “ketengangan” kepada barat baik secara langsung atau tidak langsung . Termasuk masalah budaya dan peradaban, bidang ilmu dan teknologi, serta kekuatan militer. Kemudian dari penjajahan budaya ini, muncullah istilah “modernisasi” (Suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern).
Ada beberapa teori mengenai modernisasi, apakah modernisasi ini identik dengan Weternisasi. Menurut Daniel Lerner, Gabriel Almong, James Coleman, Karl Deutsh, dan Mc. T.Kahim, Modernisasi identik dengan westernisasi, sekularisasi, juga liberalisasi. Pengertian seperti ini akan menghasilkan hipotesis bahwa sikap keberagaman akan bertentangan dengan modernisasi. Jadi menurut mereka pada hakekatnya modernisasi tidak bisa lepas dari asal mula munculnya istilah itu, dari Barat, atau tidak bisa lepas dari westernisasi. Dari sini jelas bahwa proses modernisasi tidak lepas dari ramalan Toynbee tersebut. Industrilisasi yang menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi dapat memproduksi alat-alat canggih yang mampu mewujudkan era komunikasi dan informasi atau era internet yang mampu bekerja tanpa mengenal batas-batas waktu dan wilayah. Era seperti ini yang disebut dengan globalisasi.
Dalam Era Globalisasi ini berari terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi hasil modernisasi teknologi tersebut. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang, atau saling kerjasama yang akan menghasilkan perpaduan atau pertentangan baru.
Pergaulan global sudah tidak dapat lagi dihindari oleh seseorang, kecuali ia sengaja mengungkung diri dengan menjauhi interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Ketika seseorang masih baca surat kabar, menonton TV, atau denga menggunakan alat lainnya, terlebih lagi dengan menggunakan internet, ia tetap akan terperangkap dalam proses dan pergaulan global. Istilah globalisasi yang sangat terkenal dapat diartikan sebagai alat, dan dapat diartikan pula sebagai ideology. Ketika globalisasi berarti alat, maka globalisasi sangat netral. Artikel, ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal positif, apabila dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, ia akan berakibat negative, apabila dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik. Adanya teknologi informasi dapat dijadikan alat untuk berdakwah dan bisa juga menjadi ancaman berdakwah.
Sedangkan ketika globalisasi sebagai ideology, sudah mempengaruhi arti tersendiri dan sudah tidak netral lagi. Oleh karena itu, wajar jika sedikit menolakya. Sebab, tidak sedikit akan terjadi benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai ideology globalisasi dan nilai agama, termasuk Islam. Adanya globalisasi ini bisa menjadi sebuah ancaman dan bisa juga sebagai tantangan.
Pertama, globalisasi sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti TV, telepon, parabola, DVD, VCD, dan internet, kita dapat berhubungan seperti TV, Telepon, tersebut. Kita dapat melihat hiburan yang tidak baik (porno) dari kamar tidur kita. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Anak-anak dapat terpengaruh untuk segala macam film yang tidak seharusnya dilihat, kita dapat denga mudah terpengaruh oleh gaya hidup dan film yang kita lihat. Padahal sebenarnya tidak sedikit program-program yang ditanyakan TV, seperti pengajian, ceramah, diskusi dan berita yang mengandung nilai-nilai positif bahkan juga agamis. Namun, biasanya hal-hal seronok, lucu, aneh, bandel, atau adegan-adegan kekerasan itu akan lebih berkesan dibandingkan dengan hal-hal yang datar, serius, dan penuh nilai etika atau agama.
Di samping itu pula, dikalangan tertentu ada anggota masyarakat yang merasa naik gengsinya jika mengikuti gaya hidup global. Untuk kalangan seperti ini, globalisasi merupakan gaya hidup, yang berarti mentalikannya sudah terasuki oleh gaya global tersebut.
Dalam pendefinisian seperti ini, banyak ancaman dudaya berupa kebebasan itu berlebih, maka nilai-nilai dan norma bidaya local dan nasional, terlebih lagi nilai agama, akan merasa terancam olehnya. Tentu kebebasan di sini bukan dalam pengertian yang positif, seperti kebebsan berpikir, berpendapat, kritik social dan sebagainya. Namun, di sini adalah kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah (Pleasure), Egoisme, dan Hedonisme.
Kedua, globalisasi sebagai tantangan. Jka globalisasi itu memberikan pengaruh hal-hal, nilai-nilai dan praktek yang positif, maka seharusnya menjadi tentangan bagi kita untuk mampu menyerapnya, terutama hal-hal yang tidak terjadi benturan dengan budaya kita, terutama sekali nilai agam. Bagaimana caranya agar nilai-nilai positif yang ada di Barat atau bahkan di belahan bangsa lain, dapat masuk ke bangsa kita dan dapat pula dipraktekan di tengah-tengah masyarakat kita, seperti budaya disiplin, kebersihan, tanggungjawab, egalitannisme, kompetisi, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain dan semacamnya. Katakanlah meniru yang positif, bagaimana agama mampu menyaring, yang baik dapat diikuti dan yang jelek harus dihindari.
Di era globalisasi ini, “Kompetisi” merupakan kata kunci dari globalisasi. Ini meliputi kompetisi dalam menghadapi hukum rimba, ketika satu nilai budaya atau agama bertentangan atau berbenturan dan bersaing dengan nilai budaya atau agama yang lain. Yang satu akan terkalahkan oleh yang lain, atau akan muncul nilai baru sebagai antitesa atau sintesa dari nilai-nilai yang berbenturan atau berkompetisi berikut. Ketika kompetisi itu berkaitan dengan nilai budaya atau agama, maka persiapan mentalitas umat menjadi sangat penting. Ini akan sangat penting dan memerlukan suat landasan, sehingga mampu dan sanggup membuat perisai diri untuk menghadapi kompetisi konsumerisme dan mampu pula menjalankan kehidupan yang wajar bahkan juga sesuai denga nilai-nilai budaya dan agama.
Kompetisi juga akan menlandasi pada hal-hal kemampuan dan prestasi. sebelum globalisasi, tuntutan kompotisi sangat kurang mengemukakan, maka sekrang akan sangat jelas dan menolak. Bahkan kompetisi bukan hanya tarap lokal atau negara, akan tetapi, akan mengglobal, mendunia. Kalau selama ini sebuah negara akan dengan mudah membuat aturan main yang dapat pula dijadikan sebagai perisai untuk mencegah serangan kompetisi dari luar, maka sekarang sudah tidak dapat lagi. Oleh karena itu, dalam menghadapi kompotisi prestasi ini, yang harus dilakukan adalah persiapan diri. Di samping itu, juga harus ada persiapan untuk kemampuan, yaitu harus mempersiapkan SDM yang mampu dan sanggup berkompetisi. Ini akan meliputi segala aspek kehidupan dalam hal perdagangan, professional, pelayanan atau jasa (service) dan lainya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi kompetisi ini yang harus dilakukan adalah penyediaan SDM kita. Penyediaan ini meliputi kesiapan mental sekaligus kesiapan kemampuan skill atau professional.
Dalam menghadapi arus modernisasi dan sekularime, masalah Islam merespons dengan dunia sikap yang berbeda dan satu yang kritis dan hati-hati. Pertama, sebagian mereka merespons secara berbalikan, yaitu dari sikap antimodernism dan pada akhirnya “anti Barat”. Kedua, sebagian yang lain terpengaruhi oleh arus modernisasi dan sekulerisasi, yang berakibat pemisahan antara agama dan politik atau masalah-masalah keduniaan lainnya. Kelompok ini menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam masa depan dan bahkan untuk way of life mereka. Sedangkan yang ketiga, sebagaian mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis antimodernisasi atau anti Barat. Kelompok ini beranggapan bahwa Barat tidak secara otomatis sebagai musuh dan tidak pula sebagai role model yang hebat dalam segalanya. Bagi mereka, Barat yang mengandung unsur kebaikan, lebih baiknya ditiru, selama tidak mengorbankan agamanya. Mereka juga harus lihai untuk meneropong elemen-elemen sebagai kejelekan dan kekurangan Barat, yang harus disikapi dengan kritis dalam batas tertentu ditolak kelompok ini bisa bersahabat dan bekerjasama dengan Barat, namun seiring menampakan sikap identitasnya.
Dengan demikian, Di era globalisasi ini, Islam dan umatnya bukan saja harus mampu bertahan, namun juga mampu berperan aktif. Kalau peran “bertahan” kemungkinan akan menimbulan isolasi, ketertutupan, dan inferiority. “Peran aktif” (usaha mempengaruhi) akan menghasilkan keterbukaan dan supertiority. Kemudian kemungkinan ketiga “Akomodatif” yakni penyesuain dan penerimaan akan hal-hal sejauh bisa ditolerir. Oleh karena itu, persiapan intern, baik tentang pemahaman maupun sikap dan mentalis umatnya harus dibenahi terlebih dahulu.
Pertama, Islam hendaknya mampu menyelamatkan umatnya dari dampak negative globalisasi. Kedua, bagaimana sekiranya Islam itu bukan saja mampu member perisai terhadap umatnya dalam mengarungi era globalisasi, namun mampu berperan aktif, bukan menciptakan umat yang mengisolir diri dari era globalisasi. Islam harus mampu menciptakan kesadaran terhadap kondisi realitas ditengah-tengah kemajuan masyarakat, sehingga mampu mengindentifikasikan diri dalam posisi dan peran yang mampu diperbuat, sekaligus kesadaran terhadap kesanggupan untuk mengubah tantangan menjadi kesempatan.
REFERENSI
 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
 Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, Jakarta: Erlangga, 2002.
 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Jakarta: Teraju, 2004.
 Azyumardi Azra, Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002.

1 komentar:

  1. zen q lg ngengsreng kieh! kwe blajar bae luh.... sukses hmjne y!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus