Kamis, 18 Juni 2009

Makalah Penafsir Mahmud Saltut



FOTONYA ABDUL ZEN
BAB I
PENDAHULUAN

TAFSIR Mufassir tafsir tematik aktif mencari topik dan jawaban dalam ayat Alquran terkait satu bahasan. Usaha untuk menafsirkan Alquran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Nabi-lah yang mempunyai otoritas dan tugas utama dalam menjelaskan wahyu Allah SWT. Setelah Nabi wafat, para sahabat lantas meneruskan tugas mulia tersebut. Pada masa sahabat, penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan Alquran dengan Alquran atau Alquran dengan hadis. Setelah itu, mulai bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan, seperti bahasa, ilmu pengetahuan, fikih, sejarah, tasawuf dan teologi. Dalam perkembangan selanjutnya, ditemui tafsir-tafsir dengan menitikberatkan pembahasan pada masalah-masalah tertentu, yang dibahas secara tuntas dan menyeluruh. Tafsir dengan metode ini kemudian dikenal dengan Tafsir Maudhu'i (Tafsir Tematik).Adalah Prof Dr Mahmud Syaltut, seorang ulama dan pemikir Mesir yang pernah menjadi Rektor Universitas Al Azhar Mesir yang ke-41, dikenal sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematik.
Menarik sekali membahas tentang tafsir tematik, karena tafsir tematik adalah tafsir yang memudahkan kita untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tema tertentu kemudian kita cari surat yang menjelaskannya dalam al-Qur’an sehingga dengan ini kita mengetahui mana saja surat dan ayat yang membahas tema yang sedang kita bahas dan bisa menafsirkan sendiri dengan pertimbangan bahasa arab, asbabul nuzul serta pendapat para mufasir yang menerangkan surat atau ayat yang sedang kita bahas.
Oleh karena itu, penyusun merasa tertarik untuk mengkaji metode penafsiran Mahmud saltut ini dan membuat makalah ini yang berjudul metode Penafsiran Mahmud Saltut. Semoga bermanfaat adanya makalah ini, selamat membaca.
BAB II
METODE PENAFSIRAN MAHMUD SALTUT

1. Biografi Mahmud Syaltut sebagai Pelopor Penerapan Tafsir Tematis
Dalam hal kebebasan beragama, ia melihat hal itu sebagai hal yang harus dijamin dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dia adalah salah seorang ulama dan pemikir Islam yang pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini.
Syaltut dilahirkan tahun 1893 di Desa Maniyah, Bani Mansur Provinsi Bukhairah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar Islam). Pendidikannya dimulai di kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat.
Pada tahun 1906, ketika menginjak usia 13 tahun, ia mulai pendidikan formalnya dengan masuk Ma'had Al Iskandariah. Studinya ini dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah 'Alamiyah an-Nizamiyyah (setingkat ijazah S-1) pada tahun 1918.
Kemudian tahun 1919, Syaltut mengajar di almaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya.
Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syekh Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syekh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar).
Syekh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional, dan pemikiran yang bijak.
Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Den Haag, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman.
Tahun 1941 ia menyampaikan sebuah risalah tentang 'Pertanggungjawaban Sipil dan Pidana dalam Syariat Islam' (Al-Mas'uliyah al-Madaniyah wa al-Jina'iyyah fi asy-syariah al-Islamiyah). Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik sehingga secara aklamasi Syaltut diangkat menjadi anggota termuda Majelis Ulama-ulama Besar.
Setahun kemudian Syaltut mengemukakan pandangannya mengenai perbaikan Universitas Al-Azhar dalam bidang kebahasaan. Lantas sebagai realisasi dari harapannya ini pada tahun 1946 dibentuklah lembaga bahasa dan dia diangkat menjadi salah seorang anggotanya. Tahun 1950 ia juga diangkat menjadi pengawas umum pada bagian penelitian dan kebudayaan Islam di Universitas al-Azhar.
Kesempatan ini dia pergunakan sebaik-baiknya untuk meletakkan dasar-dasar pembinaan lembaga ini, terutama guna membina hubungan kebudayaan Mesir dengan kebudayaan Arab dan dunia Islam. Dalam kaitan ini, ia pernah menjadi penasehat Muktamar Islam di bawah pemerintahan Republik Persatuan Arab (federasi Suriah dan Mesir antara tahun 1958-1961).
Hingga pada tanggal 21 Oktober 1958, Syaltut terpilih menjadi Rektor Universitas al-Azhar yang ke-41. Dan sebagai rektor, kini dia memiliki peluang untuk merealisasikan cita-cita maupun pemikirannya demi memajukan universitas tersebut. Upaya yang ditempuh antara lain dengan memindahkan Institut Pembacaan Alquran ke dalam Masjid al-Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah keislaman. Ini sekaligus mengembalikan fungsi al-Azhar sebagai pusat kajian Alquran bagi seluruh umat secara bebas tanpa terikat jam pelajaran dan ujian.
Selain menjabat selaku rektor di universitas terkemuka, Mahmud Syaltut pun memangku jabatan penting sebagai anggota Badan Tertinggi untuk Hubungan-hubungan Kebudayaan dengan Luar Negeri pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Dia pun pernah menjadi anggota Dewan Tertinggi untuk Penyiaran Radio Mesir, anggota Badan Tertinggi untuk Bantuan Musim Dingin serta ketua Badan Penyelidikan Adat dan Tradisi pada Kementerian Sosial Mesir.
Dalam percaturan intelektual, Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam, pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik.
Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah yang karenanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup.
"Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya," ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah.
Syaltut dikenal pula dengan salah satu karyanya menyangkut penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita yakni Alquran wa al-Mar'ah, sehingga dia dipandang sebagai salah seorang pelopor tafsir maududi (tafsir tematis) atau metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan Alquran guna menjawab problema manusia abad modern.
Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhan-nya yang satu dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas.
Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.
Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963. Pengabdian dan sumbangsihnya dalam memajukan Universitas Al-Azhar maupun dalam pemikiran keislaman akan selalu dikenang dan dijadikan pedoman guna mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya umat Islam pada masa kini dan mendatang.

2. Metode Tafsir Syaltut
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).

3. Tafsir Tematik (tafsir maudhu’i)
Menurut bahasa, maudhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.9 Dari kata ini pula diambil istilah hadits maudhu’, hanya saja berbeda dalam pengambilan artinya. Maudhu’i untuk tafsir mengambil arti “yang dibicarakan” yang bersinonim dengan judul, topik, atau sektor sedangkan maudhu’ untuk hadits mengambil arti “yang didustakan” atau yang dibuat-buat/dipalsukan.
Menurut istilah, pengertian tafsir maudhu’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr.Abd. al-Hayy al-Farmawi adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menetibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.
Dengan demikian, tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an mengenai topik atau tema tertentu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kronologis ayat yang dihimpunnya beserta asbab al-nuzul yang mengiringinya dan dijelaskan dengan rinci dan tuntas yang didukung oleh dalil dan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang berasal dari al-Qur’an maupun dari hadits dan pemikiran rasional. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Melihat bentuknya, tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk, yakni : Pertama, pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat.11 Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum pesannya, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasul saw.12 Kedua, adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah yang sama dan diletakkan dalam satu tema bahasan dan kemudian ditafsirkan secara maudhu’i. Bentuk kedua ini yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam makalah ini.
1) Karakteristik Tafsir Maudhu’i.
Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas dan mengarah pada bentuk yang kedua dari metode ini, maka tafsir maudhu’i mempunyai karakteristik atau ciri khas sebagai berikut :
a) Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
b) Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
c) Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
2) Tata Kerja Metode Maudhu’i
Sebagaimana lazimnya sebuah metode, tafsir maudhu’i seperti yang dikemukakan oleh Dr.Abd. al-Hayy al-Farmawiy, memiliki tata kerja atau tata cara serta langkah-langkah pembahasan sebagai berikut :
a) Menetapkan maudhu’/topik/tema/judul al -Qur’an yang akan di bahas.
Dalam menetapkan topik ini para mufassir biasanya mengacu kepada topik-topik yang ada dalam al-Qur’an atau pada persoalan-persoalan kehidupan yang telah atau sedang dihadapi masyarakat. Topik-topik yang ada dalam al-Qur’an, menurut penyusun buku “al-Qur’an dan ilmu pengetahuan” sedikitnya ada 29 ilmu/topik atau judul.14 Sedangkan menurut Muh. Nuruddin Umar, ada 19 bab dan 341 sub bab yang membahas pokok pembicaraan/topik dalam al-Qur’an.15 Atau dapat merujuk pada buku Tafshil ayat al-Qur’an, terjemahan Muh. Fu’ad abd. al-Baqiy, Al-Hayat, karya Muh. Reza Hakimi dan Al-Mu’jam al-Mufahrash li al-alfadz al-Qur’an, karya Muh. Fu’ad abd. al-Baqiy.
Sementara, topik-topik yang berhubungan dengan persoalan-persoalan kehidupan, kiranya mufassir maudhu’i mempelajari problem-problem masyarakat atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban-jawaban al-Qur’an, misalnya petunjuk al-Qur’an mengenai kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain sebagainya.
b) Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan judul / topik yang sudah ditetapkan sebelumnya sambil menertibkannya berdasarkan urutan turunnya, Makkiyyah dan Madaniyahnya serta sesuai dengan riwayat sebab-sebab turunnya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ciri khas medode maudhu’i, pembahasan tafsir ini tidak terikat oleh urutan ayat dan surat yang ada dalam mushhaf, tetapi lebih menitikberatkan pembahasan ayat, berdasarkan tertib masa turunnya. Ayat yang lebih dahulu turun ditempatkan di awal, dan ayat yang turun kemudian ditempatkan berikutnya. Demikian pula ayat yang turun di Mekah (ayat-ayat Makkiyah) didahulukan daripada ayat-ayat yang turun di Medinah (ayat-ayat Madaniyyah). Hal ini dilakukan, karena mufassir berkeyakinan, bahwa al-Qur’an bersesuaian dengan realitas sosial ketika ayat itu turun. Sehingga jasa asbab al-nuzul diperlukan dalam kajian tafsir ini. Disamping itu, dapat ditempatkan secara proporsional, kemungkinan adanya mansukhah.
c) Mengetahui persesuaian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat lainnya dalam masing-masing suratnya atau antara satu surat dengan surat lainnya.
Pengetahuan munasabah ayat atau surat ini diperlukan, karena adanya ayat yang saling menjelaskan dan menguatkan, sekaligus untuk menunjukkan, bahwa tidak ada kontradiksi dalam al-Qur’an. Hanya saja munasabah ayat atau surat ini terikat oleh topik yang sudah ditetapkan.
d) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits-hadits (bila dianggap perlu ) yang relevan dengan pokok / topik pembahasan, sehingga pembahasan menjadi semakin baik dan jelas.
e) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara meng-himpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara yang ‘am dan khash, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Memperhatikan tata cara dan langkah-langkah metode tafsir maudhu’i tersebut apabila dihubungkan dengan karya-karya yang bermunculan dan dianggap menggunakan metode maudhu’i, ada yang memenuhi seluruh prosedur diatas, tapi ada juga yang sebagian saja. Bahkan Dr.M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” halaman 115, mengusulkan untuk memasukkan uraian atau paling tidak mufassir maudhu’i mengetahui lebih dahulu mengenai pengertian kosa-kata ayat sebagaimana yang ditempuh oleh metode Tahliliy.
3) Perbedaan Metode Tafsir Maudhu’i dengan Medote Tafsir Lainnya.
a) Perbedaannya dengan Metode Tafsir Tahlily
1. Pembahasan ayat dalam metode tafsir tahlily mengikuti susunan ayat dan surat di dalam mushhaf, sedangkan metode maudhu’i pembahasan ayat mengacu kepada tema / topik yang telah ditetapkan dan disusun berdasarkan kronologis masa turunnya ayat.
2. Uraian pembahasan tafsir tahlily biasanya meliputi segala segi yang ada dalam ayat atau surat sesuai dengan urutannya dalam mushhaf, sedangkan tafsir maudhu’i pembahasannya terbatas atau terikat pada segi-segi dari tema/topik yang sudah ditetapkan.
3. Pembahasan tafsir tahlily lazimnya mengemukakan arti kosa kata ayat disertai penjelasan dan analisis sesuai dengan metode tafsirnya dan latar belakang pendidikan mufassir. Sedangkan metode maudhu’i penafsir tidak mengemukakan hal yang demikian kecuali sekedar yang diperlukan.
4. Dalam tafsir tahlily sulit untuk dibahas secara tuntas, sesuatu judul/topik pembahasan, karena belum lengkapnya penjelasan aspek-aspek judul dalam sesuatu ayat. Sehingga perlu diterangkan, bahwa pembahasan selengkapnya ada pada ayat yang sebelumnya atau sesudahnya.21 Sedangkan tafsir maudhu’i dapat membahas sesuatu judul/topik secara tuntas dan utuh.
5. Dalam tafsir tahlily, pembahasan munasabah berkisar antara persesuaian ayat yang ditafsirkan dengan ayat-ayat yang terletak sebelumnya dalam tertib mushhaf, sedangkan dalam tafsir maudhu’i, munasabah ayat berkisar antara persesuaian ayat yang satu topik.
6. Dalam tafsir tahlily untuk memahami sesuatu judul/topik pembahasan tidak mudah, karena pembahasan judul/topik tersebar dalam beberapa ayat/surat. Sedangkan dalam tafsir maudhu’i masalah al-Qur’an dapat diidentifikasi dan disusun dalam bentuk pembahasan tersendiri, terpisah antara satu dengan yang lainnya, sehingga mampu untuk mengungkap petunjuk al-Qur’an secara memuaskan.
b) Perbedaannya dengan metode tafsir ijmaly.
1. Tafsir ijmaly berusaha mengungkap makna global dari suatu ayat dalam suatu kerangka suatu pembahasan dari lafadz-lafadz ayat yang tersusun dalam mushhaf, sedangkan tafsir maudhu’i pembahasan ayat tidak terikat oleh susunan ayat atau surat dalam mushhaf.
2. Tafsir ijmaly membahas suatu ayat dari suatu surat secara keseluruhan, tidak terfokus pada suatu tema atau pokok bahasan, juga tidak mengemukakan korelasi antar ayat yang membicarakan satu masalah yang sama, sedangkan tafsir maudhu’i membahas satu tema atau pokok bahasan dari berbagai ayat dan surat berdasarkan kronologis masa turunnya dan mengemukakan korelasi antar ayat-ayat pada satu masalah atau tema yang sama.
c) Perbedaannya dengan metode tafsir muqorin.
1. Tafsir muqorin mengemukakan pembahasan tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan membandingkan antara satu tafsir dengan tafsir lainnya, sedangkan tafsir maudhu’i tidak menempuh cara yang seperti ini, tetapi pembahasan ayat difokuskan tehadap suatu tema yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Tafsir muqorin untuk mencapai tujuannya, meneliti sejumlah ayat al-Qur’an dengan memperhatikan tafsir ayat tersebut dari berbagai mufassir kemudian memban-dingkan arah dan kecenderungan yang diperlihatkan mufassir dalam karya-karya mereka.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas. Metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian:
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
DAFTAR PUSTAKA

'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960.

Ahmad Al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Abdul Djalal, HA, Prof. Dr., Urgensi Tafsir Maudhu’i pada Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Abd. al-Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiah Maudhu’iyah, Terj. Suryan A.Jamrah, Jakarta: TP.Raja Grapindo Persada, 1994
Baqir as-Shadr, Trends of History in Qur’an, Terj. M.S.Nasrulloh, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993
Muh. Husen Thabathabai, Al-Qur’an fi al-Islam, Terj. A.Malik Madani, Bandung: Mizan, 1987
M.Quraish Shibab, Dr., Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1992
M.Quraish Sihab, Dr.,Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Nashruddin Baidan, Dr., Metodologi Panafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

1 komentar: